Bisnis.com, JAKARTA – Supply Chain Indonesia (SCI) menilai implementasi Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai payung hukum sektor logistik yang dikeluarkan hampir 10 tahun lalu berjalan tidak efektif.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan tanpa cetak biru Sislognas yang efektif, program kementerian/lembaga dalam bidang logistik akan sulit direncanakan dan diimplementasikan secara sinergis dan optimal.
"Pada saat ini sektor logistik Indonesia mengalami darurat regulasi," ujarnya, Senin (7/2/2022).
Menurutnya, dalam periode itu, pencapaian road map dan rencana aksi Sislognas rendah serta tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala. Bahkan, rencana aksi Sislognas baru tersusun untuk tahap I yakni periode 2011-2015.
Sebaliknya, rencana aksi tahap II dan III yakni periode 2016-2025, lanjutnya, hingga saat ini belum dirumuskan.
"Selain itu, belum ada tools evaluasi secara organisasional, sehingga implementasi Sislognas oleh kementerian/lembaga terkait tidak dapat dievaluasi," tambah Setijadi.
Lebih lanjut dia menuturkan tanpa regulasi yang efektif, berbagai isu dalam sektor logistik akan sulit teratasi, seperti biaya logistik yang tinggi, ketidakseimbangan volume muatan antar wilayah, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih regulasi.
Bukan itu saja, dia menyebut LPI (Logistics Performance Index) akan lebih rendah daripada negara-negara Asean lainnya. Pada tahun 2018, misalnya, LPI Indonesia bertengger di posisi 46, di bawah Singapura (peringkat 7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).
"Untuk pengembangan sistem logistik, termasuk perbaikan LPI itu, saat ini tidak ada K/L yang ditugaskan secara khusus dalam regulasi Sislognas. Koordinasi pelaksanaan Sislognas dilakukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia [KP3EI] 2011-2025 yang dibubarkan melalui Perpres 82/2020, namun fungsinya terkait koordinasi Sislognas belum dialihkan," tutupnya.