Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Instran Minta Masyarakat Terima Wacana Kenaikan Tarif KRL

Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang minta masyarakat terima wacana kenaikan tarif KRL dari Rp3.000 menjadi Rp5.000 per 25 km.
Sejumlah penumpang KRL Commuter Line tiba di Stasiun Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin (3/1/2022). ANTARA FOTO/Fauzan
Sejumlah penumpang KRL Commuter Line tiba di Stasiun Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin (3/1/2022). ANTARA FOTO/Fauzan

Bisnis.com, JAKARTA - Institut Studi Transportasi (Instran) meminta masyarakat khususnya warga Jabodetabek agar menerima wacana kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) secara rasional, bukan emosional semata. 

Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang mengatakan adanya usulan untuk menaikkan tarif KRL dari yang semula Rp3.000 menjadi Rp5.000 untuk 25 km pertama merujuk pada hasil survei yang dilakukan kepada pelanggan KRL Jabodetabek di 2021.

Hasil riset yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Puslitbang Perhubungan itu merekomendasikan adanya penyesuaian tarif karena berdasar atas data-data primer dari pengguna langsung.

"Rekomendasinya adalah kenaikan Rp2.000 untuk 25 km awal, jadi tarif menjadi Rp5.000 dari eksisting sebelumnya Rp3.000. Kemudian untuk tiap 10 km selanjutnya tetap Rp1.000," kata Deddy, Minggu (16/1/2022).

Dia menjelaskan, survei dilakukan dengan melihat kemampuan membayar (ability to pay/ATP) dan kemauan untuk membayar (willingness to pay/WTP) dari pengguna KRL Jabodetabek.

Hasilnya, ujar Deddy, memang ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL menjadi Rp5.000 pada 25 km pertama. Sedangkan tarif pada 10 km pertama direkomendasikan tetap atau tidak mengalami kenaikan karena aspek ATP-nya lebih rendah daripada tarif eksisting.

"Paparan ATP/WTP tesebut memang baiknya harus diterima secara rasional bukan semata emosional. Adanya wacana mengenai penyesuaian tarif itu karena tarif KRL sejak 2016 belum pernah mengalami penyesuaian," sebutnya.

Menurut dia, apabila penyesuaian tarif Rp2.000 tersebut disetujui, maka pemerintah tidak perlu memberikan subsidi dalam pemenuhan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/PSO) sebesar Rp2.000 per penumpang dan standar kualitas layanan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter selaku operator KRL tidak akan mengalami penurunan.

Pasalnya, sambung Deddy, pemerintah masih memberi subsidi PSO Rp1.250/penumpang (pnp) karena biaya produksi (biop) PT KCI Rp6.250/ pnp. Sedangkan penumpang membayar cash tapping awal Rp5.000, dan untuk tiap 10 km berikutnya biop KCI Rp2.500.

"Bila penumpang membayar Rp1.000/10 km berikutnya, maka subdisi PSO masih Rp1.500 dari pemerintah," ucapnya.

Lebih lanjut Deddy menilai lebih baik sisa subsidi PSO dari Jabodetabek diberikan kepada daerah yang lebih membutuhkan pelayanan transportasi publik. Apalagi, dana PSO yang berasal dari APBN sangat terbatas untuk pemulihan kondisi perekononomian nasional selama pandemi Covid-19.

Dia menuturkan, jumlah total subsidi PSO untuk penumpang KRL Jabodetabek adalah paling banyak dibandingkan dari daerah lain. Persentase PSO KRL Jabodetabek tersebut berkisar 55-58 persen dari total PSO KA di Sumatra dan Jawa.

"Memang penumpang comuter Jabodetabek secara kuantitas adalah terbanyak, namun pendapatan perekonomian masyarakatnya jauh lebih tinggi dibanding dengan daerah lain di Jawa dan Sumatra," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper