Bisnis.com, JAKARTA - Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan rasio utang terhadap PDB sepanjang 2021 masih berada di tahap aman.
Pasalnya, tingkat utang tersebut masih di bawah batas maksimal yang tertuang di dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun lalu tercatat mencapai 41 persen.
Angka tersebut setara dengan target yang ditetapkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), yakni 41,05 persen terhadap PDB.
“Rasio utang terhadap PDB sepanjang 2021 berada di kisaran 41 persen, menurun dari perkiraan sebesar 43 persen terhadap PDB,” kata Luky kepada Bisnis, Rabu (5/1/2022).
Luky pun tidak memungkiri bahwa terbatasnya pembengkakan rasio utang merupakan buah dari upaya penyelamatan yang dilakukan melalui pemanfaatan SAL sebagai penyangga fiskal dan implementasi SKB III dengan BI.
Baca Juga
“Rasio utang relatif terjaga karena realisasi sementara pembiayaan utang neto pada 2021 lebih rendah Rp310 triliun dari target APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara] 2021,” jelasnya.
Sejauh ini, pemerintah sebenarnya juga diselamatkan oleh momentum kenaikan harga sejumlah komoditas yang mengerek penerimaan negara jauh di atas target. Terutama penerimaan yang bersumber dari pajak.
Kondisi ini pun mengerek total pendapatan negara mencapai Rp2.003 triliun atau setara dengan 114,9 persen dari target yang tertuang di dalam APBN 2021 yakni Rp1.743 triliun.
Dengan kata lain, terkendalinya rasio utang disebabkan karena pemerintah mendapatkan berbagai momentum yang mampu menjadi penopang besarnya kebutuhan pembiayaan.
Apabila menggunakan asumsi tidak adanya tiga momentum tersebut, yakni penggunaan SAL, SKB III dengan BI, dan moncernya harga komoditas, rasio utang terhadap PDB pada tahun lalu berpotensi mencapai 44,37 persen.
Melejitnya tingkat rasio utang terhadap PDB sejalan dengan terus menanjaknya outstanding utang negara.
Terlebih di tengah pandemi Covid-19 pemerintah menarik banyak utang baru menyusul buruknya kinerja penerimaan akibat tekanan ekonomi.
Potensi membengkaknya rasio utang hingga mencapai 44,37 persen terhadap PDB itu dihitung dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang berada di batas bawah yakni 3,7 persen, sehingga menghasilkan PDB harga berlaku senilai Rp16.005,2 triliun.
Di sisi lain, outstanding utang pemerintah pada tahun lalu diperkirakan mencapai Rp7.101,6 triliun, yang berasal dari outstanding utang pada 2020 ditambah dengan outlook pembiayaan pada 2021.
Hadirnya ketiga momentum tersebut pada saat yang tepat juga berhasil menyelamatkan beban belanja bunga utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah.
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Bisnis, belanja bunga utang pada 2021 tercatat hanya Rp343,5 triiun, lebih rendah dibandingkan dengan outlook pemerintah yakni di angka Rp366 triliun.
Angka tersebut diperoleh dari penambahan antara total penerimaan negara yang mencapai Rp2.003 triliun ditambah defisit keseimbangan primer senilai Rp440 triliun sehingga menghasilkan belanja primer senilai Rp2.443 triliun.
Adapun, total belanja negara sepanjang tahun lalu tercatat mencapai Rp2.786 triliun sehingga belanja bunga utang tercatat senilai Rp343 triliun.
Sementara itu, pada tahun ini pemerintah memproyeksikan tingkat rasio utang terhadap PDB mencapai 43,1 persen, dengan rencana penarikan utang Rp973,6 triliun sesuai rencana dalam APBN 2022.
Pemerintah merancang pembiayaan utang senilai Rp868 triliun, dengan sumber pembiayaan sekitar 80 persen — 82 persen dari dalam negeri dan 18 persen — 20 persen dari valuta asing melalui penerbitan SBN.
Adapun, Berdasarkan Perpres No. 104/2021 tentang Rincian APBN 2022, total pembayaran bunga utang pada tahun ini tercatat mencapai Rp405,8 triliun, dan belanja pemerintah pusat di angka Rp1.938,3 triliun.
Dengan demikian, rasio bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat pada 2022 sebesar 20,93 persen.