Bisnis.com, JAKARTA -- Setelah lebih dari satu dasawarsa, penerimaan pajak akhirnya mencapai target APBN. Kinerja penerimaan pajak tahun ini patut diapresiasi, tetapi tetap perlu dikritisi.
Bagaimanapun penerimaan pajak 2021 tercapai setelah pemerintah menempuh kebijakan yang cukup konservatif sebagai respons terhadap kondisi force majeure Covid-19 yang menyebabkan ekonomi baik global maupun domestik luluh lantah.
Selain itu, pencapaian target penerimaan pajak 2021 juga terealisasi karena faktor hadiah dari langit. Harga minyak mentah dan komoditas naik secara signifikan. Data realisasi APBN 2021 bahkan mencatat harga minyak mentah mencapai US$68,5 per barel. Padahal asumsi di APBN hanya US$45 per barel.
Meski tak seekstrem tahun 2018 yang tembus di atas US$70 per barel, tren harga minyak yang melampaui target jelas berimbas ke penerimaan negara. Pemerintah tak perlu susah payah melakukan upaya extra effort dan tetek bengek-nya, karena pundi-pundi rupiah secara otomatis masuk ke kas negara dalam bentuk PPh migas.
Selain itu, kinerja positif sektor pertambangan yang pertumbuhannya mencapai 60,52 persen ikut mengerek pencapaian penerimaan pajak. Angka pertumbuhan tersebut cukup signifikan, karena tahun terkontraksi 43,4 persen.
Dengan pertumbuhan sebanyak 60,5 persen, sektor ini menyumbang pundi-pundi rupiah Rp111,5 triliun ke kas negara atau naik sekitar Rp42 triliun dari penerimaan sektor pertambangan pada tahun 2020 yang hanya Rp69,5 triliun.
Baca Juga
(Data struktur penerimaan pajak berdasarkan jenis pajak di APBN 2021/Sumber: Kemenkeu)
Wajar, tren tersebut kemudian berimbas positif ke penerimaan PPh tahun 2021. Penerimaan PPh, seperti yang diklaim oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tumbuh di angka 17,3 persen. Sementara realisasinya mencapai Rp696,5 triliun atau 101,9 persen dari target APBN 2021 senilai Rp683,7 triliun.
Sayangnya, pemerintah tak memaparkan data secara terperinci mengenai realisasi angka penerimaan PPh non migas dengan PPh migas, maupun angka penerimaan sektor pertambangan.
Akibatnya, tak ada patokan secara pasti apakah kinerja penerimaan pajak itu murni karena pemulihan ekonomi atau hanya berkah dari pasar seiring naiknya harga migas. Mungkin disengaja kali ye...
Meski demikian, tanpa perincian data pemerintah itu sekalipun, penerimaan pajak tahun 2021 bisa dipastikan tak sesuai target alias masih shortfall jika harga migas atau komoditas tak melonjak signifikan.
Sekadar ilustrasi, penerimaan pajak tahun 2021 mencapai Rp1.277,5 triliun atau 103,9 persen dari target APBN 2021 senilai Rp1.229,5 triliun.
Artinya jika total penerimaan itu dikurangkan dengan kenaikan sektor pertambangan sekitar Rp42 triliun dan penerimaan PPh migas, jika mengacu realisasi November yang naik sekitar Rp12,9 triliun dari realisasi 2020 Rp33,03 triliun, penerimaan tahun 2021 hanya di kisaran Rp1.222,6 triliun atau 99,4 persen.
Capaian itu sebenarnya cukup baik dibandingkan kinerja tahun-tahun sebelumnya, baik sebelum pandemi atau saat pandemi, yang jarang menembus angka 99 persen. Tren positif tersebut juga tak bisa lepas dari kinerja ekonomi yang berangsut pulih.
Namun demikian, fakta bahwa kinerja pajak masih mengandalkan sektor migas dan komoditas sebagai penambal penerimaan pajak juga tak bisa dikesampingkan.
Struktur Masih Timpang
Selain mendapatkan berkah dari komoditas, hal yang masih menjadi catatan dari kinerja penerimaan pajak tahun 2021 adalah belum berubahnya struktur penerimaan pajak.
Menariknya, jika mencermati kinerja jenis pajak non migas, kontribusi penerimaan PPh orang pribadi non karyawan atau orang kaya masih tidak bergerak dari angka 1 persen.
Artinya, jika realisasi penerimaan pajak tahun 2021 sebanyak Rp1.277,5 triliun, kontribusi penerimaan PPh Op non karyawan alias orang kaya hanya Rp12,7 triliun.
Kontribusi orang kaya ini jelas timpang. Apalagi jika dibandingkan dengan kinerja penerimaan PPh Op karyawan yang kontribusinya sebanyak 11 persen atau Rp140,5 triliun. Fakta tersebut bisa ditafsirkan bahwa kelas pekerja masih mensubsidi orang kaya.
Padahal, di tengah nasib sebagian besar masyarakat yang sedang berjibaku dengan pandemi Covid-19, sejumlah orang terkaya di Indonesia justru berhasil memulihkan bisnisnya pada 2021.
Setidaknya 5 orang terkaya RI berhasil menambah pundi-pundi kekayaannya.
Data Forbes' Real-Time Billionaires per Rabu (1/12/2021), menunjukkan ada 5 konglomerat asal Indonesia yang berhasil menambah kekayannya sepanjang 2021.
Total kekayaan 5 konglomerat tersebut setara Rp848,26 triliun atau naik Rp310,02 triliun dari akhir tahun 2020 yang hanya Rp538,24 triliun.
Artinya jika nilai tambahan kekayaan itu dihitung sebagai penghasilan, penerimaan PPh Op non karyawan seharusnya lebih tinggi dari Rp12,7 triliun. Pasalnya, jika mengacu ke rezim PPh Op dimana tarif penghasilan di atas Rp500 juta adalah 30 persen, jumlah pajak yang seharusnya dipungut oleh negara dari 5 konglomerat sekitar Rp93 triliun.
Itu kalau tambahan kekayaan itu dihitung sebagai penghasilan dan Ditjen Pajak berani menagih ke 5 konglomerat tersebut. Kalau ndak ya ndak papa.. salam.