Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk melarang sementara ekspor batu bara sepanjang Januari 2022 diperkirakan bakal menggerus neraca dagang yang telah menikmati surplus selama 19 bulan terakhir.
Kinerja produk nonmigas lainnya juga diprediksi tidak naik signifikan dan tidak bisa menambal risiko defisit dagang akibat penghentian ekspor batu bara.
“Melihat kinerja terakhir, defisit perdagangan memang dapat terjadi pada Januari 2022 jika ekspor batu bara dihentikan total,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, Senin (3/1/2022).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara per Oktober 2021 mencapai US$4,94 miliar dan pada November 2021 bernilai US$4,13 miliar. Penurunan ekspor bulanan pada batu bara diikuti dengan turunnya surplus dari US$5,74 miliar pada Oktober menjadi US$3,51 miliar pada November 2021.
“Selain itu, sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional ke depan, nilai impor juga berpotensi meningkat,” tambahnya.
Impor pada November 2021 yang mencapai US$19,33 miliar tercatat naik 18,62 persen secara bulanan. Josua mengatakan tren kenaikan impor berpotensi terus berlanjut.
Dia menilai peluang untuk menambal risiko defisit dagang yang timbul dari larangan ekspor batu bara pada Januari relatif kecil. Dia memperkirakan hanya segelintir produk manufaktur yang bisa menaikkan kinerja pada awal tahun, diantaranya adalah produk terkait feronikel dan stainless steel.
“Kalau melihat tren harga nikel sampai awal tahun ini masih meningkat. Potensi kenaikan volume ekspor juga ada karena tren peningkatan kapasitas smelter belakangan ini,” katanya.
Ekspor bahan bakar mineral dalam kode HS 27 dalam kurun Januari-Oktober 2021 tercatat bernilai US$25,45 miliar dan impor senilai US$2,51 miliar. Komoditas batu bara masih menjadi salah satu penyumbang positif perdagangan nonmigas dengan surplus mencapai US$22,94 miliar.