Bisnis.com, JAKARTA - Harga bijih besi turun mengikuti ekspektasi investor terhadap bahan baku baja ini yang akan menghadapi surplus pada tahun depan.
Dilansir Bloomberg pada Senin (27/12/2021), harga berjangka di Singapura merosot sebanyak 5,4 persen, paling tinggi dalam bulan ini setelah 6 pekan menanjak.
Penurunan harga ini didukung oleh tindakan dari otoritas China untuk meningkatkan sektor real estat, ditambah dengan ekspektasi dukungan fiskal dan produksi baja yang akan rebound pada bulan ini.
"Kami pikir pasokan dan permintaan bijih besi secara keseluruhan akan semakin melonggar pada 2022," kata analis China International Capital Corp. (CICC), Zhilu Wang dan Chaohui Guo dalam sebuah catatan.
Menurut mereka, konsumsi baja pada 2022 turun 1,2 persen dari tahun lalu, terseret oleh pelemahan sektor konstruksi dan ambisi target karbon pemerintah, dan kenaikan pengiriman 25 juta ton dari penambang besar.
Perkiraan tersebut memperkuat proyeksi badan riset yang didukung oleh pemerintah, China Metallurgical Industry Planning and Research Institute, yang memperkirakan bahwa konsumsi baja akan turun sebesar 4,7 persen pada 2022.
Baca Juga
Kendati demikian, pemulihan investasi real estat lebih tinggi dari yang diperkirakan. "Harga bijih besi mungkin tetap di atas US$100," kata analis CICC.
China baru saja melaporkan pada akhir pekan bahwa jumlah penyebaran kasus Covid-19 lokal mencapai yang tertinggi sejak Januari. Wabah di provinsi Shaanxi menjadi salah satu tantangan terbesar China terhadap kebijakan nol-Covid-nya.
Bijih besi di Singapura turun 4,1 persen menjadi US$122,15 per ton pada 14:57 waktu setempat setelah naik 6,3 persen pada pekan lalu. Harga di Dalian juga turun, sementara baja tulangan beton dan kontrak berjangka baja canai panas (hot rolled coil/HRC) mereda di Shanghai.
Selain pemulihan produksi baja, volatilitas harga bijih besi akan bertahan hingga 2022 menyusul kendala produksi musiman yang biasa diperketat menjelang Olimpiade Musim Dingin pada Februari.
Di samping itu, China terus maju dengan pengurangan emisi karbon, produksi baja diperkirakan akan menyusut untuk tahun kedua, sementara sektor properti yang sarat utang membebani konsumsi baja dan pertumbuhan yang lebih luas.
"Permintaan bijih besi akan menurun secara luas dan bertahap. Industri properti agak lemah, konsumsi baja sepertinya akan berkontraksi dan banyak pabrik akan menggunakan baja scrap untuk mengurangi emisi," terang analis CITIC Futures Co., Zeng Ning.
Lembaga broker tersebut memperkirakan produksi baja akan turun hingga 50 juta ton pada 2022. China membeli sekitar 70 persen dari bijih besi dunia dan akan memproduksi 1,03 miliar ton pada tahun ini, setengah lebih besar dari suplai global.