Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia memperkirakan sumber daya mineral logam akan mengalami peningkatan permintaan seiring dengan dorongan dunia terhadap pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Ketua Umum Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) Bouman T. Situmorang mengatakan bahwa kebutuhan dasar mineral logam akan meningkat hingga 2050.
Salah satunya disebabkan oleh menurunnya penggunaan kendaraan konvensional pada 2040, dan masifnya produksi kendaraan listrik.
Peralihan penggunaan kendaraan rendah emisi tersebut turut mendongkrak kebutuhan logam, terutama tembaga dan nikel sebagai bahan baku baterai.
Sebagai perbandingan, kendaraan berbahan bakar fosil umumnya membutuhkan mineral logam sekitar 23 kilogram. Sementara itu, kendaraan listrik memerlukan bahan baku logam lebih besar, yakni 89 kilogram per unit.
“Peningkatan tajam untuk mobil listrik itu akan menambah demand pada logam,” katanya saat Bisnis Indonesia Business Challenges, Kamis (16/12/2021).
Baca Juga
Lebih lanjut, kebijakan dunia pada pengembangan energi baru terbarukan dinilai turut mengerek permintaan logam. Pasalnya, sejumlah pembangkit listrik memerlukan bahan baku logam dalam jumlah signifikan. Kondisi itu membuat permintaan terhadap sumber daya tersebut meroket.
Bouman memproyeksikan kebutuhan logam besi akan meningkat dari 100 juta ton menjadi 350 juta ton pada 2050. Kemudian, kebutuhan tembaga naik dari 15 juta ton menjadi 45 juta ton.
“Kebutuhan logam dengan penerapan energi baru terbarukan itu akan meningkat tajam di seluruh dunia,” terangnya.
Sebagai contoh, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) memerlukan sekitar 4,7 ton tembaga pada turbin per 3 MW. Kemudian, teknologi panel surya untuk PLTS juga memerlukan 5,5 ton per MW tembaga.
“Kebutuhan nikel, tembaga, besi, aluminium, cobalt, dan silver juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya pembangkit EBT,” ujarnya.
Meski begitu, dia menilai, peralihan pembangkit fosil menuju pembangkit EBT perlu dipertimbangkan dengan matang. Pasalnya, jumlah energi yang akan dipindahkan dari fosil menuju EBT cukup besar.
“Di satu sisi kenapa kita tidak berfikir untuk membuat pembangkit listrik tenaga fosil itu menjadi pembangkit listrik yang ramah karbon, mungkin pemasangan carbon capture dan lain-lain,” kata Bouman.