Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 bisa mencapai 5,46 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Menurutnya, proyeksi tersebut bisa terwujud apabila gejolak pandemi Covid-19 tidak terjadi pada tahun depan.
"Proyeksi kami itu [pertumbuhan ekonomi 2022] bisa mencapai 5,46 persen [yoy], jika faktor penunjang gejolak pandemi bisa diredakan. Tapi setidaknya kita berangkat dari moderat dulu, itu 4,5 persen berdasarkan simulasi kami," jelas Fithra pada webinar, Sabtu (4/12/2021).
Menurutnya, faktor terbesar yang dapat menyebabkan gejolak dalam pemulihan ekonomi ke depan adalah perkembangan pandemi Covid-19. Akan tetapi, Fithra menilai pemerintah kini sudah lebih memahami metode pengendalian penyebaran virus dibandingkan pada masa awal pandemi. Oleh karena itu, dia optimistis penanganan pandemi Covid-19 bisa memicu sentimen positif pada perekonomian.
Fithra juga merujuk pada riset terbaru Morgan Stanley yang memperkirakan ekonomi Indonesia 2022 akan tumbuh 5,5 persen (yoy). Terdapat tiga faktor yang membuat ekonomi Indonesia akan bullish tahun depan.
Pertama, menguatnya kembali permintaan. Fithra meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih solid dibandingkan dengan negara-negara peers berkat faktor permintaan yang lebih kuat dan inklusif.
Kedua, kenaikan inflasi yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, kondisi itu akan membedakan situasi pada beberapa negara lain yang mengalami stagflasi, atau inflasi pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Baca Juga
"Indonesia akan mengalami inflasi, tapi bersifat transitory dan didorong oleh demand yang kuat. Jadi, inflasinya yang memicu pertumbuhan ekonomi," tutur Fithra yang juga merupakan direktur eksekutif dari lembaga think tank independen, Next Policy.
Fithra menambahkan bahwa perbedaan antara inflasi yang akan terjadi di Indonesia dan yang sedang terjadi di beberapa negara lain adalah produksi. Menurutnya, Indonesia saat ini mengalami oversupply, sedangkan beberapa negara lain mengalami kesulitan dalam input produksi.
Akan tetapi, dia mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu gegabah untuk melakukan ekspor terutama komoditas. "Komoditas sekarang menghadapi early indicator dari commodity supercycle, kemudian kita ekspor berlebihan. Itu nanti kita bisa terpapar oleh imported inflation," tambahnya.
Ketiga, fondasi pertumbuhan yang kuat dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Salah satunya, ditunjukkan oleh defisit anggaran di Indonesia yang lebar, namun tidak selebar negara-negara lain.
Di sisi lain, Fithra menilai adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mulai berlaku tahun depan berpotensi mendorong penerimaan negara lebih besar.