Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa memperkirakan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS akan tumbuh 1–2 gigawatt (GW) per tahun seiring dengan meningkatnya antusiasme pelaku usaha dan industri.
Dia memperkirakan, PLTS atap akan menjadi sumber pertumbuhan paling cepat dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air. Meski begitu, potensi tersebut harus diiringi dengan kesiapan PT PLN (Persero) dalam membeli listrik EBT.
“AESI memprediksi sektor komersial dan industri bisa tumbuh 1–2 GW per tahun. Ini kabar baik untuk mengembangkan PLTS terintegrasi di dalam negeri,” katanya dalam Asia Solar Forum, Indo EBTKE Conex 2021, Kamis (25/11/2021).
Lebih lanjut, asosiasi mendorong kolaborasi seluruh pihak untuk merealisasi potensi tersebut, baik kalangan pengusaha, asosiasi, pemerintah, maupun PLN.
Selain itu, AESI juga berharap agar akselerasi pengembangan energi baru terbarukan lebih cepat mulai tahun depan. Setidaknya terdapat dua tugas pemerintah untuk merealisasi hal tersebut.
Pertama, membuat pasar EBT lebih tumbuh. Menurutnya, pengembangan sektor itu sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Terdapat beberapa beleid yang terus ditunggu, seperti aturan soal tarif energi baru terbarukan.
Baca Juga
Kedua, eksekutif didorong untuk memastikan setiap kebijakan dapat dijalankan dengan baik. Dalam perkembangannya, Fabby mencium adanya geliat dari pelaku usaha dan industri untuk meningkatkan pemasangan PLTS atap.
“Akan tetapi dalam pelaksanaannya, masih menemui kendala yang berkaitan dengan perizinan,” tuturnya.
Dalam kesempatan lain, Fabby menyebutkan bahwa Permen ESDM Nomor 50/2017 dan perubahannya masih tidak menarik bagi para investor. Pada beleid tersebut, harga pembangkit energi terbarukan mengacu pada biaya pokok produksi (BPP) PLN.
“Ini membuat harga pembangkit energy terbarukan dipaksa serendah mungkin mengacu harga BPP, padahal BPP berasal dari harga pembangkit dengan berbagai usia, bahkan yang sudah balik modal,” katanya kepada Bisnis, Rabu (24/11/2021).
Regulasi lainnya adalah peraturan perjanjian jual beli listrik yang dituangkan dalam Permen ESDM Nomor 10/2017. Dia menilai, isu utama aturan itu adalah pembagian risiko yang tidak berimbang antara pengembang dan PLN.
“Tecermin dalam klausul utama yang diatur dalam Permen tersebut. Misalnya, dalam ketentuan disebutkan jika PLN tidak dapat mengevakuasi daya dari pembangkit karena force majeure, maka PLN dibebaskan dari kewajiban pembayaran kepada pengembang [independent power producer/IPP],” jelasnya.