Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Catat! Ini Regulasi yang Hambat Investasi Energi Terbarukan

Permen ESDM No 50/2017 dan perubahannya masih tidak menarik bagi para investor.
Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp. /PLN Enjiniring
Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp. /PLN Enjiniring

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai sejumlah kebijakan pemerintah menghambat masuknya investasi di sektor energi baru terbarukan.

Dia menyebutkan bahwa Permen ESDM No 50/2017 dan perubahannya masih tidak menarik bagi para investor. Pada beleid ini, harga pembangkit energi terbarukan (ET) mengacu pada BPP PLN.

"Ini membuat harga pembangkit ET dipaksa serendah mungkin mengacu harga BPP, padahal BPP berasal dari harga pembangkit dg berbagai usia, bahkan yang sudah balik modal," katanya kepada Bisnis, Rabu (24/11/2021).

Regulasi lainnya adalah peraturan perjanjian jual beli listrik yang dituangkan dalam Permen ESDM No 10/2017. Dia menilai isu utama aturan ini adalah pembagian risiko yang tidak berimbang antara pengembang dan PLN.

"Tercermin dalam klausul utama yang diatur dalam Permen tersebut. Misalnya dalam ketentuan disebutkan jika PLN tidak dapat mengevakuasi daya dari pembangkit karena force majeure, maka PLN dibebaskan dari kewajiban pembayaran kepada pengembang [independent power producer/IPP]," jelasnya.

Di sisi lain, dia menilai kendala lainnya adalah insentif pajak yang tidak banyak memberi manfaat. Terlebih insentif banyak diberikan kepada pembangkit panas bumi (PLTP). Itu juga dalam bentuk risiko eksplorasi dan penugasan eksplorasi kepada BUMN.

Fabby menambahkan kendala lain adalah pembangunan PLTP dan pembangkit energi terbarukan lainnya, mayoritas hanya dalam bentuk proyek IPP yang dibeli oleh PLN.

Masalahnya kaya dia, saat ini pemerintah masih mengembangkan proyek 35 GW yang didominasi PLTU. Di sisi lain kondisi PLN yang mengalami kelebihan kapasitas dalam dua tahun terakhir membuat PLN membatasi pembelian dari ET.

"Ini bisa dilihat dari penambahan kapasitas pembangkit ET yang rendah sejak 2015 sampai dengan 2020," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper