Bisnis.com, JAKARTA — Kendala penarikan retribusi oleh pemerintah daerah yang terjadi di sejumlah wilayah pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu perhatian.
Adanya perubahan sejumlah mekanisme belum disertai perangkat aturan di tingkat daerah, sehingga memunculkan kendala lain dalam pelaksanaan amanat UU tersebut.
Isu penarikan retribusi dari pengajuan izin usaha menjadi salah satu pembahasan yang cukup alot dalam acara Sosialisasi Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang berlangsung pada Jumat (12/11/2021) di Solo, Jawa Tengah. Perwakilan pemerintah daerah (pemda) dari setiap kabupaten dan kota di Jawa Tengah hadir dalam acara tersebut.
Pembahasan dalam acara itu terbilang cukup padat karena sejumlah narasumber, seperti Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta, serta Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, dan Kerjasama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Prabawa Eka Soesanta tidak banyak memaparkan materi. Mereka lebih fokus membangun dialog dua arah dengan para aparatur pemda.
Hampir seluruh peserta acara mengeluhkan kendala teknis dari sistem perizinan terpadu atau online single submission (OSS). Sejak UU Cipta Kerja berlaku, permohonan izin usaha menjadi terfokus melalui satu pintu, yakni OSS yang kendalinya ada di pemerintah pusat dan pemda menjadi pelaksana.
Salah satu kendala yang terjadi adalah belum terhubungnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah dengan sistem OSS. RDTR menjadi komponen penting bagi sistem OSS untuk menentukan apakah pendirian sebuah usaha, khususnya usaha skala menengah dan atas, sesuai dengan tata ruang daerah.
Baca Juga
Belum terhubungnya RDTR dengan sistem OSS membuat proses penilaian Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) harus berjalan dengan manual. Padahal, esensi dari OSS adalah agar pengajuan pendirian usaha berjalan secara otomatis sehingga mempercepat prosesnya.
Sebagai gambaran, pemerintah menargetkan adanya 207 RDTR di Jawa Tengah, tetapi baru terdapat sembilan peraturan daerah (perda) yang membuat RDTR terhubung dengan OSS. Masih terdapat 198 RDTR yang memerlukan revisi melalui penerbitan perda.
"Harapannya kan dengan OSS tidak bertemu pelaku usaha dengan petugas pemda [saat pengajuan pendirian usaha], tetapi jika RTDR belum terhubung jadi ada kemungkinan bertemu itu. OSS kan inginnya otomatis, ini menjadi perhatian kami," ujar Surya kepada Bisnis di sela-sela sosialisasi UU Cipta Kerja, Jumat (12/11/2021).
Dia pun mendorong pemda untuk segera menerbitkan perda revisi RDTR agar penggunaan OSS oleh pelaku usaha tak lagi terkendala. Bahkan, Surya menyatakan agar pemda memanfaatkan dana alokasi khusus (DAK) dalam proses revisi perda agar RDTR baru segera rampung.
"Kami berharap mendapatkan dukungan Kementerian Dalam Negeri [terkait percepatan revisi RDTR]. DAK langsung saja sebagian dialokasikan buat RDTR misalnya," ujar Surya.
Salah satu masalah teknis dari belum terkoneksinya RDTR dengan OSS adalah tidak mampunya pemda menarik retribusi dari pendirian bangunan. Hal tersebut berkaitan dengan penghapusan izin mendirikan bangunan (IMB), yang kemudian berganti menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG).
Perubahan itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung. PP itu sendiri terbit atas amanat Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b UU Cipta Kerja.
Sejumlah peserta acara sosialisasi UU Cipta Kerja menyampaikan bahwa daerahnya tidak dapat menarik retribusi dari pengajuan PBG. Sama halnya seperti RDTR, kendala itu terjadi karena belum terdapat perda yang mengatur penarikan retribusi dari PBG.
Oleh karena itu, peserta meminta kejelasan kepada pemerintah pusat mengenai apa yang harus dilakukan. Tanpa aturan dan arahan, penarikan retribusi bisa menjadi tidak sesuai ketentuan, tetapi tanpa penarikan retribusi maka pemda tidak memperoleh pendapatan.
"Kalau tidak ada perda apakah tidak boleh melayani masyarakat? Tidak boleh. Maka, kami keluarkan Surat Edaran bahwa rakyat harus dilayani. Lalu retribusinya bagaimana [dari PBG]? Ya selama pemerintah daerah belum punya perda [retribusi] harus Rp0," ujar Prabawa kepada Bisnis.
Menurutnya, secara prinsip pemerintah daerah harus tetap melakukan pelayanan kepada masayarakat. Namun, dengan kerangka peraturan yang ada, penarikan retribusi dari pendirian bangunan memerlukan perda khusus, sehingga penerbitan perda merupakan satu-satunya langkah agar dapat menarik retribusi karena tidak terdapat celah hukum lain, seperti diskresi.
"Selama ini IMB menjadi tulang punggung pendapatan asli daerah [PAB], kalau tiba-tiba mereka tidak bisa menyerap retribusi dari itu kan jadi tidak sejalan dengan harapan UU Cipta Kerja," ujar Prabawa.
Dia menilai bahwa pelaksanaan aturan dengan skala sebesar UU Cipta Kerja memang akan menemui tantangan. Namun, upaya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta dengan kementerian dan lembaga terkait terus berjalan agar pelaksanaan aturan dapat berjalan dengan baik.
"Kemendagri sebagai koordinator umum ya mencoba mengomunikasikan apa yang dirasakan daerah, kementerian, lembaga. Kita kenali masalah [dalam implementasi UU Cipta Kerja], penyebabnya apa, kemudian kita selesaikan solusinya," ujar Prabawa.