Bisnis.com, JAKARTA - KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia yang sempat dihadiri pemimpin dari 20 ekonomi terbesar dunia (G-20) termasuk Presiden Joko Widodo telah mencapai puncak. Draf akhir hasil kesepakatan dari pertemuan ke-26 ini diharapkan menjadi titik terang keseriusan negara-negara dunia menghadapi tantangan perubahan iklim.
Salah satu isu krusial perdagangan karbon dalam draf akhir ini juga dapat lebih diterima. Kelompok lingkungan mengatakan kerangka kerja yang diusulkan untuk pasar karbon global sudah lebih baik dari sebelumnya, meskipun masih ditemukan celah.
Ada kekhawatiran jika negosiasi ini diakhiri dengan penegakan aturan yang lemah, maka akan ada risiko negara ataupun perusahaan yang mengklaim telah mengurangi emisi tetapi sebeltulnya mereka justru menyumbang polusi.
Dikutip dari Bloomberg Minggu (14/11/2021), salah satu kelemahan dari draf yang dipublikasikan untuk hasil KTT COP26 di Glasgow tahun ini adalah hilangnya poin tentang keinginan negara berkembang mendapatkan fasilitas untuk mengakses klaim terhadap kerugian dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim.
"Apakah Glasgow memberikan fasilitas keuangan yang tepat adalah bagaimana KTT ini akan dinilai oleh negara-negara paling rentan di dunia,” kata Mohamed Adow, Direktur Power Shift Africa melalui akun Twitter.
Kendati demikian, pertemuam di Glasgow ini memperoleh komitmen 197 negara di dunia untuk meninggalkan batu bara dan menghapus subsidi bahan bakar fosil. Lainnya, peserta sepakat meningkatkan target iklim resmi pada tahun depan.
Baca Juga
Jika seruan penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara dan subsidi bahan bakar fosil menjadi keputusan akhir yang ditandatangani, itu akan menjadi pertama kalinya teks COP membuat referensi seperti itu dalam 25 tahun.
Selain itu, dalam perjanjian ini juga disebutkan bahwa adanya transisi dalam meninggalkan energi yang menjadi sumber emisi tinggi, sehingga menenangkan konsumen dan produsen bahan bakar fosil yang khawatir akan adanya kehilangan pekerjaan besar-besaran ketika transisi dilakukan terlalu cepat.
Dalam draf tersebut, negara-negara sepakat untuk mengikuti hasil laporan PBB pada 2018 agar menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius, ketimbang mengikuti Perjanjian paris yang cenderung lemah, yakni hanya 2 derajat celcius.
Draf teks juga mengatakan bahwa negara-negara harus mengakui masih ada kesenjangan antara janji pada target iklim mereka dan berapa banyak lagi emisi yang perlu diturunkan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris.
Untuk itu, COP26 telah meminta negara-negara untuk mengajukan janji baru yang lebih ambisius sebelum akhir 2022, tetapi menambahkan kualifikasi yang berarti dengan mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda.
“Teks ini masih cukup bagus dan saya harap semua negara dapat merangkulnya. Sudah waktunya bagi negara-negara untuk berhenti berdebat tentang teks dan mulai mengambil tindakan yang telah dijanjikan," ujar Bob Ward, Direktur Kebijakan dan Komunikasi Grantham Research Institute on Climate Change.
Kendari seluruh yang tertulis dalam draf hasil dari KTT tahunan PBB ini dapat ditegakkan secara hukum yang ketat, ini tetap saja deklarasi yang ditandatangani oleh konsensus global. Keputusan yang dibuat akan mengirimkan sinyal yang jelas tentang betapa seriusnya pemerintah dalam menangani krisis iklim.