Bisnis.com, JAKARTA - Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) mengkaji bahwa tingginya biaya logistik di Indonesia dipicu oleh banyak faktor. Salah satunya di kawasan pelabuhan.
Pada periode 2021-2022, Stranas PK mengkaji bahwa tingginya biaya logistik di Indonesia dipicu oleh banyak faktor Birokrasi dan layanan di pelabuhan laut yang tidak terintegrasi dan tumpang tindih termasuk banyaknya instansi pemerintah yang terlibat, diperburuk dengan koordinasi yang tidak berjalan berujung pada inefisiensi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi selaku anggota Tim Nasional Pencegahan Korupsi Firli bahuri menjelaskan stakeholders pelabuhan laut mengeluhkan banyaknya praktik suap karena pelayanan yang tidak berbasis sistem informasi teknologi.
Dengan demikian rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses operasionalnya. Belum lagi hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) karena sistem yang masih manual pada beberapa titik.
Firli bahuri menjelaskan terdapat empat permasalahan yang ditemukan oleh Tim Stranas PK di Pelabuhan di antaranya masih ditemukan Otoritas Pelabuhan dan Kesyahbandaran yang tidak menggunakan sistem aplikasi Inaportnet dalam pemberian layanan, yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bila proses layanan jasa kepelabuhanan tidak terlaporkan ke dalam sistem.
Kemudian masih ditemukan pemberian layanan jasa kepelabuhanan yang tidak direkam ke dalam sistem (manual) dan tidak sesuai yang dibayarkan oleh pengguna jasa.
Baca Juga
“Masih ditemukan ketidaksesuaian kebutuhan, kualifikasi, kelembagaan, dan proses implementasi kerja pada proses bongkar muat di pelabuhan. Hal ini tidak hanya merugikan pengguna jasa tetapi juga merugikan tenaga kerja bongkar muat itu sendiri sebagai akibat dari panjangnya birokrasi dalam pemberian layanan jasa bongkar muat,” ujarnya dikutip, Jumat (12/11/2021).
Selain itu, masih ditemukan layanan jasa kepelabuhanan yang belum terintegrasi satu sama lain (seperti layanan karantina dan belum tersedia 24/7 sebagai akibat dari keterbatasan SDM.
Padahal pelabuhan yang produktif dan efisien dapat menjadi suatu keunggulan tersendiri dalam menarik muatan internasional untuk singgah di Pelabuhan. Sebut saja Singapura, dengan traffic peti kemas tahunan sekitar 37 juta TEUs, sekitar 80 persennya merupakan kargo transshipment dari negara-negara lain.
Sebaliknya, Pelabuhan yang kurang produktif dan kurang efisien dapat menjadi suatu kelemahan yang signifikan bagi perekonomian suatu negara.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan bahwa pemerintah juga telah menyusun Rencana Aksi Penataan Ekonomi Logistik Nasional dalam Inpres 5/2020 untuk menyelaraskan arus lalu lintas barang dan dokumen internasional sejak kedatangan sarana pengangkut hingga barang tiba di Gudang.
Rencana aksi ini berorientasi pada kerja sama antar instansi pemerintah dan swasta, melalui pertukaran data, simplifikasi proses, penghapusan repetisi dan replikasi, serta didukung oleh sistem teknologi informasi yang mencakup seluruh proses logistik terkait. Di samping itu, perlu adanya peningkatan kualitas dan kapasitas SDM.
“Dalam Penataan Ekosistem Logistik, terdapat 3 kata kunci yaitu meningkatkan produktivitas, meningkatkan daya saing dan menciptakan peluang. Kesemuanya itu dapat diciptakan melalui penggunaan suatu platform digital yang nantinya akan menurunkan waktu [dwelling time], menurunkan biaya, serta meningkatkan kepercayaan para pengguna jasa(termasuk investor,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat untuk memangkas waktu dan biaya di Pelabuhan, termasuk dengan memangkas birokrasi yang tidak perlu (debottlenecking) serta terus mendorong pelayanan yang unggul untuk dapat menurunkan biaya logistik nasional dan membebaskan Indonesia dari fenomena ekonomi berbiaya tinggi.
Adapun dari data Asosiasi Logistik Indonesia tahun 2020 menunjukkan biaya logistik di Indonesia sebesar 26,4 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), dan ini tergolong biaya logistik yang tinggi.
Perbandingan dengan negara lain terlihat dari rendahnya peringkat Indonesia di Logistic Performance Index yang dikeluarkan oleh World Bank 2018, Indonesia berada di rangking 46 dari 160 negara.