Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi PP 109/2012 Tentang Rokok Stagnan 3 Tahun, Ada Apa?

Pertemuan untuk membahas revisi PP 109/2012 sudah dilakukan sebanyak 8 kali, tetapi belum membuahkan hasil.
Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih stagnan sejak 2018./ilustrasi
Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih stagnan sejak 2018./ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo pada 2018 mengusung bahwa Indonesia harus memiliki generasi unggul. Namun, perencanaan tersebut belum sesuai dengan aturan yang berlaku.

Lihat saja revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, yang stagnan, sejak 2018. Beleid ini direvisi untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya rokok.

Direktur Promkes Kementerian Kesehatan, Imran A.N mengklaim pertemuan sudah dilakukan sebanyak 8 kali, tetapi belum membuahkan hasil revisi PP 109/2012. Harmonisasi antar kementerian masih menjadi kendala.

Imran menambahkan bahwa ada beberapa komponen yang diusulkan dalam revisi. “Usulan untuk peningkatan gambar peringatan kesehatan diperbesar dan harus ada aturan pembatasan iklan di medsos, karena dulu 2012 belum banyak media digital.”

Dalam catatan Bisnis, revisi PP 109/2012 sempat masuk dalam Prolegnas 2020. Namun, selama pembahasan belum memperoleh kesepakatan di lintas kementerian. Ditambah lagi, pelaku industri ‘berteriak’ untuk ikutan terlibat dalam pembahasan beleid tersebut.

Saat ini, PHW atau pictorial health warning, yang menjadi gambar  peringatan untuk merokok hanya 40 persen di kemasan rokok, tetapi dalam rencana revisi PP tersebut menjadi 90 persen. 

Dalam kesempatan yang sama, Tulus Abadi, Ketua  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan sikap pemerintah yang tidak tegas dan rencana yang belum sejalan dengan aksi nyata. Dia juga melihat masih ada lokasi yang memperbolehkan adanya iklan atau promosi rokok di media luar ruang maupun media sosial. 

“Miris Indonesia masih mempromosikan rokok, Eropa dan Amerika sudah melarang iklan rokok. Lebih miris lagi, ada izin SNI yang diberikan kepada rokok elektrik untuk beredar,” ungkap Tulus, Rabu (10/11/2021).

Meskipun pemerintah sudah memberikan pelarangan terhadap penjualan rokok untuk anak di bawah umur, kata Tulus, kenyataannya peraturan tersebut tidak efektif apalagi rokok bisa dibeli secara ketengan. 

Melihat dari sisi kesehatan, PP ini harus direvisi. Adanya sektor lain yang belum sepakat menimbulkan kontra. 

Renova, Perencana Madya Dit. KGM Bappenas menjelaskan bahwa revisi yang sedang on progress ditujukan menjadi landasan pengendalian tembakau yang lebih komprehensif. Dalam prosesnya, Renova merasa pemerintah belum satu suara dalam revisi ini. 

Bappenas memiliki misi untuk menurunkan target perokok dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen. 

“Kami berupaya terus melakukan pengendalian dari banyak sistem mulai dari perencanaan, mengawal arah kebijakan, monev, dan koordinasi internal pemerintah,” tutur Renova.

Dr. Roberia, Direktur. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM menegaskan tidak bisa mulus dan lancar. Menurutnya, proses revisi PP tidak bisa lancar seperti jalan tol atau tidak ada jalur cepat. 

“Mengeluarkan PP tidak ada jalan tol, butuh proses panjang. Lama atau cepat tergantung kementerian yang mengajukan prakarsa,” ujarnya. 

Banyaknya pro dan kontra menimbulkan kesulitan dalam revisi PP 109/2021. Melihat keterlambatan revisi ini tentu menimbulkan kerugian bagi negara dari segi keuangan dan SDM. 

Imran mengatakan kepada Bisnis.com bahwa kerugian dari segi kesehatan dan keuangan terlihat dari meningkatnya perokok pemula. Jumlah perokok pemula, yang diikuti meningkat pula angka penyakit tidak menular akibat rokok, di mana pemerintah harus mengcover biaya kesehatan pasien perokok.

Setali tiga uang, Menteri Kesehatan RI 2012-2014 Nafsiah Mboi menambahkan bahwa pemerintah saat ini tidak perlu takut untuk memberikan  perlindungan dan kesehatan. Dia menegaskan agar pemerintah jangan mau disetir oleh industri tertentu.

“Jumlah cukai yang masuk tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan untuk mengobati pasien yang merokok. Seharusnya penyakit yang diakibatkan rokok jangan ditanggung pemerintah,” tegas Nafsiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Annasa Rizki
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper