Bisnis.com, JAKARTA - Sandal jepit Istanto mulai menipis. Karet sandal berwarna hijau dan putih kian memudar, bercampur dengan warna tanah, cokelat kekuningan.
Baju lengan panjang dan celana panjang menjadi pakaian yang digunakan Istanto untuk bekerja sehari-hari ke ladang tembakau, seluas setengah hektar atau 5.000 meter persegi.
Menanam tembakau sudah menjadi tradisi turun menurun dari nenek moyang, ayah hingga Istanto. Kakek dan nenek Istanto memiliki lahan seluas 5 ha dan dia mendapatkan jatah setengah hektar di Desa Windusari, Jawa Tengah.
“Saya jadi petani tembakau sejak dari nenek moyang, dan ini sempat jadi andalan utama kami,” ungkapnya, Kamis (29/7/2021).
Bagi keluarga besar Istanto, musim kemarau adalah musim keberuntungan. Namun saat musim hujan tiba, maka rugi akan berada di depan mata.
Dia bercerita, pada 2012, wilayah Windusari sempat dilanda musim penghujan yang panjang. Tembakau adalah satu-satunya komoditas yang menjadi harapan, menjadi busuk dan gagal panen. Alunan doa juga dipanjatkan kepada Sang Pencipta, dengan harapan tahun 2013 menjadi keberuntungan.
Baca Juga
Pada April-Mei 2013, Kecamatan Windusari dihampiri musim kemarau dan menjadi saat yang tepat untuk menanam. Namun, perubahan musim kembali terjadi. Juni hingga Agustus, kembali hujan. Panen kembali gagal.
Untuk membuat dapur tetap mengepul, Istanto mencari cara untuk menghidupi istri dan dua orang anaknya, dengan tidak hanya bergantung pada satu komoditas saja. Menanam ubi jalar madusari menjadi pilihan.
Pada Oktober 2013, saat awal menanam ubi, dia bisa panen sekitar 2 ton, dengan harga Rp1.200-1.500 per kg, maka hasil panen yang dikantongi sekitar Rp2,4 juta-Rp3 juta. Jika dikurangi upah pada 2013 sekitar Rp1,5 juta maka dia bisa mengantongi uang Rp900.000 hingga Rp1,5 juta.
Proses menanam ubi madusari yang gampang dan potensi yang gagal panen yang sangat kecil, membuat wajah Istanto kembali tersenyum. Menurutnya, Kecamatan Windusari yang berada di ketinggian sekitar 300-700 mdpl, sangat cocok untuk ditanam ubi jalar.
Kini harga ubi madusari di tingkat petani ada di kisaran Rp2.800-Rp3.000 per kg. Saat pandemi ini, sekitar beberapa minggu lalu, Istanto baru saja mendapati hasil panen 2.513 ton dengan harga Rp3.000 per kg. Dia pun mengantongi hasil panen Rp7,53 juta.
“Kalau menanam ubi risikonya lebih kecil terhadap perubahan iklim,” katanya.
Tak hanya itu, ubi madusari milik Istanto juga telah diekspor ke Malaysia, Singapura dan Jepang. Untuk produk ekspor maka ukuran yang ditentukan berdiameter 3-5 cm dan panjang minimal 15 cm. Ubi yang bisa diekspor adalah ubi yang mulus dan tidak ada bekas serangan hama.
Istanto, 60 tahun, sedang memanen ubi jalar./istimewa
“Dari ubi madusari ini, saya dan istri saya sudah berangkat haji. Sekarang, anak saya yang paling kecil sedang kuliah,” tutur Istanto sambil tersenyum.
Ketua MTCC UMMagelang Retno Rusdjijati mengungkapkan bahwa petani tidak boleh hanya mengandalkan satu komoditas saja, sebab hal tersebut sangat berisiko. Menurutnya, ada perbedaan biaya produksi tembakau dengan ubi madusari.
“Alasan petani tembakau beralih ke ubi madusari, karena faktor ekonomi dan kesejahteraan. Harga lebih stabil, risiko lebih sedikit dan potensi gagal panen sangat kecil,” ungkapnya.
Adapun jenis ubi jalar yang dipilih menggantikan tembakau adalah jenis cilembu. Tanaman ini dipilih karena bisa ditanam di segala musim, perawatan mudah dan biaya produksi rendah.
Kecamatan Windusari terdiri dari 13 desa, dan sudah sangat jarang ditemui tanaman tembakau. Padahal sebelumnya daerah tersebut dikenal sebagai penghasil tembakau terbesar di Kabupaten Magelang.
Retno menuturkan bahwa petani lebih banyak menanami lahan dengan ubi jalar, hortikultura dan kopi. Dia mengatakan bahwa kesejahteraan petani menjadi perhatian yang serius.
"Petani yang telah melakukan diversifikasi atau alih tanam ke komoditas selain tembakau, perlu didukung dan dilindungi. Sebab, petani kerap mendapatkan ancaman dari pihak lain untuk tetap menanam tembakau," ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga harus memfasilitasi sarana dan prasarana, guna diversifikasi dan alih tanam. Menurut Retno, petani adalah kelompok yang perlu dilindungi dan disejahterakan.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo menilai pemerintah masih setengah hati mengendalikan tembakau untuk bahan baku industri rokok yang mengancam kesehatan masyarakat.
Pandemi menjadi alasan pemerintah untuk menunda pembahasan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Penundaan pembahasan karena isu yang digadang adalah penurunan kesejahteraan petani bila produksi tembakau dibatasi.
Widyastuti mengatakan penundaaan tersebut bukanlah hal yang tepat. Dia mengatakan bahwa masalah utama yang dihadapi adalah harga jual di kalangan petani, impor tembakau dan hama, serta minimnya perlindungan terhadap tembakau.
"Kesejahteraan petani tembakau tidak meningkat signifikan dari tahun ke tahun," ungkapnya.
Impor Tembakau (Ton)
Negara Asal | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
Tiongkok | 38.622 | 39.947 | 56.524 | 38.555 | 46.007 | 42.929 |
Brazil | 6.715 | 7.006 | 15.345 | 21.772 | 21.064 | 20.745 |
Amerika Serikat | 5.487 | 7.536 | 7.414 | 11.618 | 4.674 | 5.603 |
Zimbabwe | 5.362 | 5.676 | 3.352 | 4.844 | 5.195 | 10.327 |
India | 2.748 | 4.002 | 6.425 | 14.501 | 10.254 | 7.103 |
Sumber: BPS
Jumlah impor tembakau dari tahun ke tahun terus bertambah. Adapun lima negara pengimpor tembakau terbesar adalah China,, Brazil, Amerika Serikat, Turki, Zimbabwe dan India. Lalu disusul oleh Italia, Yunani, Srilanka, Hong Kong dan Thailand.
Menurut data BPS, total impor tembakau pada 2015 mencapai 75.353 ton, naik 46,34 persen dalam lima tahun menjadi 110.275 ton pada 2020.
Setali tiga uang, Direktur P2PTM Kemenkes Cut Putri Arianie mengatakan bahwa pengendalian konsumsi tembakau sangat penting, khususnya saat pandemi. Sebab, pengendalian konsumsi tembakau sangat berdampak bagi kesehatan dan kematian. Menurut Riskesdas saat ini tingkat prevalensi perokok anak mencapai 9,1 persen meningkat bila dibandingkan 2013 yang ada pada angka 7,2 persen.
Menurut data dari Kemenkes RI, menyatakan jumlah perokok muda yang semakin meningkat di masa pandemic. Dari hasil survei di 25 provinsi, bahwa perokok aktif anak usia 15 sampai 24 tahun mencapai 35 persen. Jumlah perokok usia muda ini lebih besar dibandingkan jumlah perokok aktif usia 25-34 tahun yang sebesar 24 persen, usia 35-44 tahun sebesar 21 persen, dan sebanyak 20 persen pada usia di atas 45 tahun.
“Saya ingin menegaskan rokok sangat berkaitan dengan penyakit tidak menular. Rokok adalah faktor utama risiko utama penyakit tidak menular hingga 80 persen kematian global, termasuk juga di Indonesia,” ungkap Cut.
Dia menuturkan bahwa produk tembakau sangat berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler, seperti jantung, stroke, kanker, paru kronik dan diabetes.