Bisnis.com, JAKARTA — Industri hulu tembakau menyebut kondisi masih tidak menguntungkan bagi usaha yang dijalaninya sejak 2003 silam. Padahal secara peluang saat ini kebutuhan tembakau mencapai 300.000 ton per tahun dengan produksi tembakau yang masih berkisar 200.000 ton.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan tekanan pada tembakau sejak 2003 terutama digawangi melalui perjanjian Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kendati Indonesia tidak meratifikasinya, tetapi sejumlah kebijakan cukup berkiblat ke sana.
"Salah satu poin FCTC itu, bahwa negara harus melakukan konversi. Artinya, beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain, kita juga pernah melakukannya tetapi nilai keekonomiannya tidak masuk dibanding dengan tembakau," katanya dalam webinar Senjakala Bara Kretek, Senin (31/5/2021).
Soeseno menyebut saat ini Indonesia setidaknya memiliki enam juta petani tembakau yang menggantungkan hidup dari perkebunan.
Dia juga menyoroti bagi hasil dari pungutan cukai yang terus dinaikkan pemerintah. Menurutnya, ada salah satu daerah bahkan mengambil 90 persen dana tersebut untuk pembangunan rumah sakit.
"Petani rerata cuman dapat 15 persen apalagi nanti kalau dengan FCTC negara bahkan tidak boleh berhubungan sama sekali dengan petani, ini gila," ujarnya.
Sementara itu, di Indonesia banyak daerah yang menggantungkan hidup dari tembakau sebut saja Madura, Jember, Temanggung, dan Nusa Tenggara Barat.
Sisi lain, kampanye anti tembakau juga menyasar perokok, dan secara drastis mengurangi jumlahnya. Padahal, jika tidak ada konsumen rokok, tentu saja tidak akan ada juga petani tembakau.
"Dua tahun lalu, tembakau tidak masuk lagi menjadi komoditas strategis di pertanian. Sebagai petani tembakau kami main sendiri. Padahal petani tembakau menghadapi ekosistem hasil pertanian yang khas di Indonesia,” ujar Soeseno.