Bisnis.com, JAKARTA — Morgan Stanley memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 3,6 persen pada tahun ini dan 5,5 persen pada tahun depan. Grup jasa keuangan itu menilai terdapat tiga faktor yang memengaruhi perekonomian hingga tahun depan.
Hal tersebut tercantum dalam riset terbaru Morgan Stanley bertajuk Indonesia Economics & Strategy: Three Reasons to be Bullish. Perekonomian Indonesia dinilai akan membaik pada 2022 seiring pertumbuhan yang meluas, khususnya dalam permintaan domestik.
Ekonom Morgan Stanley, Deyi Tan dan Jin Choi menilai bahwa Indonesia berpotensi mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik meskipun negara-negara lain di Asia masih menghadapi kendala. Keduanya menilai bahwa Indonesia akan memperoleh keuntungan dari transisi kekuatan ekspor menuju peningkatan permintaan domestik.
Tan dan Choi menilai bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan berada di angka 3,6 persen (year-on-year/YoY), sedangkan pada tahun depan naik menjadi 5,5 persen (YoY). Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang membuat Morgan Stanley yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih cepat pada 2022.
"Pertama, terdapat pembukaan kembali permintaan domestik. Kami memperkirakan bahwa Indonesia akan memenuhi vaksinasi secara penuh [dua dosis] bagi seluruh penduduk dewasa pada Januari 2022 dan total populasinya pada Maret 2022," tulis Tan dan Choi dalam laporan tersebut, yang dikutip pada Rabu (10/11/2021).
Morgan Stanley menilai bahwa pada tahap awal pandemi Covid-19, industri di Indonesia lebih mampu mengatur produksi untuk memenuhi permintaan dari luar negeri. Adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat perekonomian lebih berorientasi ekspor dibandingkan dengan domestik.
Baca Juga
Tan dan Choi menilai bahwa kenaikan laju vaksinasi akan membantu pemulihan permintaan domestik, sehingga perekonomian pun akan lebih berorientasi kepada pasar dalam negeri.
"Permintaan domestik di Indonesia tidak terganggu oleh tantangan stabilitas makro. Inflasi terkendali dan tidak akan mengarah kepada siklus kenaikan suku bunga yang disruptif," tertulis dalam laporan tersebut.
Kedua, terdapat perlindungan nilai inflasi terhadap kekhawatiran stagflasi dari kendala di sisi penawaran. Morgan Stanley menilai bahwa hal tersebut berkaitan dengan kenaikan harga komoditas yang menopang surplus neraca perdagangan Indonesia.
"Kendala di sisi penawaran tentu menghadirkan beberapa risiko makro, terutama di sisi inflasi, tetapi kami yakin apa yang terlihat seperti kendala dari sisi penawaran tetap didorong oleh permintaan yang kuat," tulis Tan dan Choi.
Ketiga, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pertumbuhan struktural kuat di Asia. Bahkan, Morgan Stanley menilai bahwa Indonesia menawarkan peluang diversifikasi yang jauh dari Negeri Tirai Bambu, China.
Tan dan Choi menilai bahwa Indonesia memiliki demografi penduduk yang baik dan rasio utang yang rendah, kontras dengan kondisi beberapa negara lainnya di Asia. Indonesia dapat diuntungkan dengan ketegangan geopolitik dan pandemi Covid-19 sebagai penyebab tingginya kebutuhan diversifikasi risiko manufaktur.
"Kami percaya Indonesia dapat memanfaatkan relokasi foreign direct investment [FDI] untuk lebih meningkatkan potensi pertumbuhannya, memanfaatkan arbitrase berbiaya rendah yang masih ada, angkatan kerja muda, dan pasar permintaan domestik yang besar," tulis keduanya.