Bisnis.com, JAKARTA – Komitmen pemerintah untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbasis batu bara menjadi angin segar bagi nasib pemanfaatan gas bumi dalam negeri.
Penghentian penggunaan batu bara dinilai akan memberikan kepastian serapan gas bumi domestik di tengah peningkatan produksi.
Dalam pertemuan Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, pemerintah menyatakan komitmennya untuk menghentikan penggunaan PLTU.
Mulai dari 2026 hingga 2030, pemerintah menyatakan tidak akan ada tambahan kapasitas PLTU, selain dari pembangkit yang sudah berkontrak atau sedang dibangun.
Selanjutnya, pada 2036–2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU, termasuk subcritical, critical, dan sebagian supercritical. Kemudian di 2051–2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU, dan hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara besar-besaran.
“Rencana mengurangi batu bara dari PLTU tentu saja ini akan sejalan dengan rencana produksi 12 miliar standar kaki kubik per hari, karena sampai sekarang kami masih ada kelebihan gas apabila mengikuti long term plan,” ujar SKK Migas Dwi Soetjipto dalam webinar Masa Depan Industri Hulu Migas Indonesia, Rabu (10/11/2021).
Baca Juga
Dwi mengatakan, pemerintah tengah menargetkan peningkatan produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari dan produksi gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
Dia memproyeksikan kebutuhan gas akan meningkat dengan adanya tren transisi energi. Menurutnya, gas akan menjadi sumber energi bersih yang akan dimanfaatkan dalam tahapan transisi energi tersebut.
“Gas akan tumbuh signifikan seiring dengan pertumbuhan industri dan pertumbuhan ekonomi Asia. Penggunaan batu bara akan rebound dalam waktu dekat, dan penurunan penggunaan secara drastis akan terjadi setelah 2030,” ujarnya.