Bisnis.com, JAKARTA - Krisis energi dan hambatan pada rantai pasok global (supply chain bottleneck) di China yang memicu munculnya tanda-tanda stagflasi diperkirakan tidak akan berpengaruh ke Indonesia.
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan tren inflasi tingkat produsen di China mengalami kenaikan, dan diperkirakan inflasi tingkat konsumennya akan mulai naik akhir tahun ini atau tahun depan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu menunjukkan tren penurunan tahun ini jika dibandingkan per kuartal.
David menilai justru krisis energi di China, yang menjadi salah satu pemicu stagflasi, justru cenderung memberikan dampak positif bagi Indonesia. Kondisi tersebut mendorong impor komoditas energi ke Indonesia, terutama batu bara.
"Kalau kita lihat ke trade balance, ini dampaknya positif. Tahun ini kita mungkin akan tembus di atas US$30 billion [miliar] ya," kata David kepada Bisnis, Selasa (9/11/2021).
Akan tetapi, dia mengingatkan adanya potensi penurunan kinerja ekspor Indonesia untuk produk lain, seiring dengan berkah tren ekspor batu bara dan CPO.
Jika melihat ke belakang, situasi ini bagi Indonesia cukup mirip dengan situasi di tahun 1950-an dan 1970-an. Pada saat itu, kondisi stagflasi di sejumlah negara di dunia secara tidak langsung menjadi berkah bagi ekspor Indonesia. Terutama, stagflasi yang terjadi di mitra dagang utama Indonesia lainnya, Amerika Serikat (AS).
Baca Juga
Pada tahun 1950-an, stagflasi sejumlah negara lain mendorong kinerja ekspor karet Indonesia. Lalu, sekitar dua dekada setelahnya, stagflasi mendorong kinerja ekspor minyak dan gas (migas) di era 1970-an.
Di dalam negeri, David memperkirakan harga-harga produk dan komoditas akan mulai naik di 2022. Namun, hal itu tidak otomatis memicu stagflasi. Dia memperkirakan seiring dengan pelonggaran pengetatan mobilitas hingga saat ini, kepercayaan konsumen akan semakin baik. Kondisi tersebut diharapkan bisa meredam kekhawatiran jika tingkat inflasi semakin meningkat.
Apalagi, tambah David, inflasi di Indonesia ditentukan oleh hanya beberapa produk, utamanya bahan bakar minyak (BBM). Produk tersebut bahkan diperkirakan akan stabil ke depannya, melihat kebijakan pemerintah yang tidak mudah merubah harga minyak domestik sesuai dengan perubahan harga internasional.
"Tahun ini harga minyak internasional naik. Tapi kita belum menaikkan juga. Jadi kita relatif lebih stabil," jelasnya.
Oleh sebab itu, David menyimpulkan bahwa hingga saat ini tanda-tanda stagflasi yang terjadi di China belum akan memengaruhi Indonesia.
Seperti diketahui, inflasi tingkat produsen atau Producer Price Index (PPI) China melonjak ke 10,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada September 2021. Ini rekor tertinggi sejak 1996.
Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China tumbuh melambat 4,9 persen (yoy) pada kuartal III/2021 dibandingkan dengan kuartal I/2021 sebesar 18,3 persen (yoy), dan 7,9 persen (yoy) di kuartal II/2021.
Stagflasi diartikan sebagai suatu periode ketika pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran terjadi bersamaan dengan meningkatnya tingkat inflasi. Hal tersebut terlihat semakin ramai diperbincangkan, ketika pencarian kata "stagflasi" di Google mengalami peningkatan tajam di tengah krisis energi global.
Dilansir dari artikel kolaborasi antara Quartz dan World Economic Forum, Kepala Strategi Global Foreign Exchange G10 (G10 FX) Bank of America Athanasios Vamvakidis mengatakan bahwa kondisi stagnasi ini berakar di seluruh dunia.
"Kenaikan harga energi merupakan peringatan bagi pasar, dan skenario yang kemungkinan besar terjadi yaitu kita mendapatkan inflasi yang lebih tinggi dan output yang lebih lemah," kata Vamvakidis seperti yang dikutip oleh Bisnis, Sabtu (6/11/2021).