Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menawarkan peluang investasi di sektor energy baru terbarukan atau EBT dalam peluncuran Net Zero World di COP ke-26 di Glasgow, Skotlandia.
Menteri Arifin mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT uang sangat besar untuk dioptimalkan. Hingga kini, baru sekitar 2 persen potensi EBT yang telah dimanfaatkan di dalam negeri.
“Peluang pertama dan utama tentu saja Indonesia memiliki sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama tenaga surya, diikuti oleh hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 GW, termasuk potensi uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir,” katanya melalui keterangan resmi, Sabtu (6/11/2021).
Dalam kesempatan itu, Arifin juga menyoroti harga EBT yang mulai tumbuh kompetitif, khususnya harga panel surya global yang cenderung menurun.
Apalagi, hal itu didukung dengan pengembangan teknologi baru, seperti pumped storage, hidrogen, dan Battery Energy Storage System (BESS), sehingga akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang melimpah di Indonesia.
“Ini [harga EBT] bisa bersaing dengan energi fosil,” ujarnya.
Baca Juga
Meningkatnya kebutuhan energi, kata dia, mendorong pemerintah untuk terus menyediakan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat, terutama di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) dengan harga terjangkau dan tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya energi setempat.
Kondisi tersebut sejalan dengan pemenuhan target rasio elektrifikasi 100 persen di 2022 mendatang.
“Tentu ini menjadi peluang bagi pengembangan EBT, karena harga bahan bakar fosil di daerah terpencil bisa begitu mahal, sedangkan sumber EBT tersedia dan dapat dimanfaatkan secara lokal,” tegasnya.
Pemerintah sendiri terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021–2030 memberikan porsi lebih besar kepada EBT.
“Energi terbarukan akan berkontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik, di mana 20,9 GW sumber energi terbarukan untuk listrik, atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2030,” jelas Arifin.
Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon.
“Salah satu prinsip utama dari kebijakan tersebut adalah mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon, dan memberi insentif efisiensi karbon,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Arifin juga mengakui bahwa penggunaan EBT sebagai sumber energi masih memiliki sejumlah tantangan, seperti intermiten di tenaga surya dan angin, keterbatasan kemampuan jaringan untuk menyerap listrik dari EBT, dan kurangnya minat dari lembaga keuangan untuk berinvestasi di sektor EBT karena risikonya yang tinggi.
Selain itu, pembiayaan berbunga tinggi, biaya investasi yang tinggi untuk beberapa energi terbarukan seperti panas bumi, serta keterbatasan kemampuan industri dalam negeri khususnya di bidang teknologi juga masih menjadi tantangan dalam pengembangan EBT di Indonesia.