Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia menyatakan telah bergabung dengan Clean Energy Demand Initiative (CEDI), yaitu sebuah inisiatif dari Pemerintah Amerika Serikat yang bersedia melakukan investasi di sektor energi bersih.
Berdasarkan siaran pers, Sabtu (6/11/2021), hal tersebut menjadi dukungan Indonesia terhadap dunia internasional dalam menjalankan mitigasi perubahan iklim dan peningkatan ekonomi hijau (green economy).
"Arahan Presiden sejalan dengan The Clean Energy Demand Initiative dan merupakan inisiatif nyata bantuan internasional yang kita perlukan untuk mempercepat mempercepat langkah-langkah kami dalam mencapai target NDC kami pada tahun 2030 dan akhirnya mencapai net zero emissions sebelum tahun 2060," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam peluncuran CEDI pada acara COP26 di Pavilion US, Glasgow, Skotlandia, Kamis (4/11) waktu setempat.
Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, transformasi energi Indonesia menuju energi baru dan terbarukan (EBT) harus didorong dan diperkuat. "Ekonomi hijau, teknologi hijau, dan produk hijau perlu ditingkatkan agar Indonesia dapat lebih berdaya saing di pasar global," imbuh Arifin.
Bergabungnya Indonesia, sambung Arifin, dapat memperkuat kerja sama dengan pemerintah serta entitas bisnis yang berpengaruh di Amerika Serikat guna mempromosikan investasi energi bersih.
"Saya mengucapkan rasa terima kasih dan apresiasi kami kepada Pemerintah AS yang telah mengundang kami untuk bergabung dalam inisiatif ini. Saya menantikan pembahasan lebih lanjut mengenai kerja sama kami," katanya.
Indonesia terus mengimplementasikan pembangunan ekonomi dan industri hijau. Salah satunya, melalui pengembangan kawasan industri hijau dengan memanfaatkan pembangkit listrik berbasis EBT skala besar.
Saat ini, sedang dikembangkan PLTA skala besar berkapasitas 9 gigawatt (GW) di Provinsi Kalimantan Utara yang terintegrasi dengan pengembangan industri hijau di bawah program Renewable Energy Based Industry Development (REBID).
"Program ini juga akan dikembangkan di daerah lain seperti Papua," jelas Arifin.
Di samping itu, mulai 2025, akan ada pengembangan super grid sebagai bagian dari penyediaan akses energi bagi masyarakat lokal di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, untuk peningkatan pengembangan green grid didukung dengan adanya penyesuaian regulasi mengenai penggunaan jaringan bersama (power wheeling) guna mengakomodasi transfer langsung daya listrik dari sumber EBT ke fasilitas operasional perusahaan dengan menggunakan jaringan PLN yang ada.
"Semua upaya transisi energi kita akan membutuhkan infrastruktur yang kuat, teknologi canggih, dan pembiayaan yang memadai. Investasi besar diperlukan untuk membangun infrastruktur EBT," ungkap Arifin.
Upaya lain yang ditempuh pemerintah adalah mengizinkan industri dan konsumen untuk mengambil bagian dalam pengembangan EBT dengan memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) yang diberikan oleh PT PLN (Persero). Layanan ini hadir bagi yang menginginkan pengakuan atas penggunaan listrik dari sumber EBT, seperti pemasangan panel surya atap.
"Instalasi panel surya atap akan menambah manfaat bagi industri dan komersial karena akan menyediakan listrik dari sumber energi terbarukan, mengurangi emisi serta tagihan listrik mereka," jelas Arifin.
Adapun, Indonesia telah menetapkan target 23 persen EBT pada bauran energi primer di 2025, mengurangi emisi sebesar 29 - 41 persen berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030 dan Net Zero Emission (NZE) di 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional.
"Kami sedang mempersiapkan Roadmap NZE sesuai dengan (target) tersebut," imbuh Arifin.