Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Meniti Langkah di Jalan Transisi Energi

Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) kini menjadi bagian dari bisnis sekaligus komitmen Pertamina dalam transisi energi.
PLTS 1,34 MW di Kilang Cilacap./Istimewa
PLTS 1,34 MW di Kilang Cilacap./Istimewa

Enam tahun lalu pada 2015, Paris Agreement atau Perjanjian Paris menjadi titik tolak bagi sejumlah negara untuk menegaskan komitmen dalam mengurangi emisi karbon secara masif. Indonesia termasuk di dalamnya.

Sejak saat itu, ambisi pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia terus digaungkan. Terbaru Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL PT PLN (Persero) 2021—2030 kian menegaskan hal tersebut.

Untuk pertama kalinya, rencana penambahan pembangkit listrik dalam jangka waktu 10 tahun akan didominasi oleh energi baru terbarukan (EBT) yang mencapai 51,6% dari total kapasitas yang akan dibangun.

Dalam RUPTL tersebut, total pembangkit EBT yang akan dibangun dalam 10 tahun ke depan mencapai 20.923 megawatt (MW). Pembangkit listrik tenaga air menjadi yang paling dominan dengan 9.272 MW, disusul oleh pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 3.355 MW, dan pembangkit listrik tenaga surya 4.680 MW.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang saat ini menjadi tulang punggung pasokan listrik nasional bakal dibatasi pertumbuhannya. Hal tersebut akan memberi ruang bagi EBT untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan listrik ke depan.

“Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi, kecuali yang saat ini yang sudah committed sudah dalam konsumsi,” katanya, baru-baru ini.

Selain itu, pemerintah pun telah menetapkan target bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Angka yang tergolong besar mengingat baurannya saat ini masih stagnan di kisaran 11%.

Di sisi lain, masifnya upaya pemerintah dalam mendorong bauran energi terbarukan tersebut menyisakan pertanyaan bagi masa depan industri non-EBT seperti minyak dan gas bumi, terlebih tentang nasib perusahaan yang selama ini bergelut di sektor tersebut.

Salah satu contoh paling nyata adalah nasib PT Pertamina (Persero) yang hingga saat ini masih menjadikan bisnis migas sebagai penopang utama perusahaan.

LANGKAH PERTAMINA

Sepintas, tren transisi energi memang berpotensi ‘mengganggu’ Pertamina sebagai perusahaan pelat merah di sektor migas. Namun, hal tersebut setidaknya telah diantisipasi jauh sebelum transisi energi dianggap sebagai sebuah keniscayaan.

Dalam berbagai kesempatan, Pertamina telah menegaskan bahwa perseroan bukan hanya sekadar perusahaan migas, tetapi lebih dari itu, sebagai perusahaan energi. Artinya, Pertamina memang telah siap mengembangkan sayapnya di luar migas.

Bahkan, Pertamina menyatakan siap membidik peningkatan portofolio di bidang energi hijau hingga 17% pada 2030.

Hal itu ditegaskan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Menurutnya, perseroan fokus menjalankan transisi energi dan langkah dekarbonisasi pada operasional  perusahaan dari hulu hingga hilir. 

“Bersama seluruh manajemen dan pekerja Pertamina, saya akan memastikan seluruh inisiatif strategis untuk mewujudkan green transition terus berlanjut dan mampu mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca antara 29%  41% pada tahun 2030,” tuturnya.

Terkait pengembangan EBT, Pertamina telah lama mengembangkan panas bumi di Indonesia. Bahkan, bisa dibilang Pertamina melalui Subholding Power & New Renewable Energy (PNRE) atau Pertamina NRE yang membawahi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) sangat dominan di sektor panas bumi.

Meniti Langkah di Jalan Transisi Energi

Kapasitas terpasang panas bumi Pertamina mencapai 672 MW dari total 15 lokasi wilayah kerja yang dioperasikan sendiri. Jika ditambahkan dengan joint operation contract, kapasitasnya mencapai sekitar 1.025 MW.

Beberapa PLTP yang dikelola PGE di antaranya PLTP Ulubelu 220 MW, PLTP Patuha 270 MW, PLTP Kamojang 235 MW, dan PLTP Lahendong dengan kapasitas terpasang 120 MW. 

Selain PLTP, Pertamina pun kini tengah gencar mengembangkan PLTS. Pertamina menargetkan pemasangan 500 MW PLTS di lokasi potensial milik perusahaan. Beberapa titik yang menjadi sasaran seperti pada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) serta gedung perkantoran milik perusahaan. 

Terbaru, PLTS Sei Mangkei yang pembangunannya merupakan kerja sama antara Pertamina NRE dan PTPN III berhasil memenuhi target commercial operation date (COD) pada 24 Agustus 2021.

PLTS ground mounted dengan kapasitas 2 MW tersebut menyuplai listrik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, Sumatera Utara. PLTS Sei Mangkei diperkirakan dapat memproduksi listrik hingga 1,6 gigawatt (GW) dalam setahun dan berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1.300 ton per tahunnya. 

Penurunan emisi tersebut setara dengan penyerapan CO2 59.000 pohon dewasa dalam setahun.

Sebelumnya, PT Badak LNG juga telah berhasil menurunkan emisi karbon sekitar 3.000 ton per tahun. Adapun, PLTS Badak LNG dipasang oleh PNRE sejak 2019. 

PLTS Badak LNG merupakan PLTS ground mounted berkapasitas total 4 MW yang dibangun di atas lahan seluas sekitar 4 hektare di area operasi PT Badak NGL. PLTS tersebut terintegrasi dengan kilang LNG Badak dan memproduksi listrik untuk kebutuhan kilang, perkantoran, dan perumahan.

Meniti Langkah di Jalan Transisi Energi

Tak hanya membangun PLTS sendiri, dukungan Pertamina terhadap pengembangan energi bersih juga diberikan melalui edukasi kepada masyarakat sekitar wilayah operasi perseroan.

Salah satunya yang dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) Unit Plaju yang telah membangun panel surya untuk menunjang kebutuhan energi di area perkantoran sejak 2017.

KPI Unit Plaju menyosialisasikan pentingnya energi baru terbarukan kepada masyarakat sekitar yang bermukim di ring 1 wilayah operasi. Rangkaian sosialisasi telah dimulai dilakukan untuk masyarakat di Lorong Mari, Kelurahan Talangbubuk, Kecamatan Plaju, Kota Palembang.

Di luar pembangkit listrik, kegiatan mendukung transisi energi juga dilakukan melalui pengembangan bioavtur, setelah sebelumnya berhasil mengembangkan green refinery.

Adapun, uji coba penggunaan Bioavtur J2.4 pada pesawat CN235 FTB telah sukses dilakukan.

Nicke pun berharap nantinya Bioavtur J2,4 ke depan dapat dikomersilkan seperti biodiesel. Menurutnya, fasilitas kilang Pertamina sudah siap untuk memproduksi bioavtur sesuai dengan regulasi dan standar internasional. Rencananya bioavtur akan diproduksi dari Kilang Dumai dan Kilang Cilacap.

Selain itu, Pertamina juga telah melangkah lebih jauh dengan menjadi bagian dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air bersama dengan sejumlah BUMN lainnya.

Rencananya, Pertamina akan berperan di bidang manufaktur produk hilir meliputi battery cell, battery pack, dan ESS.

KENISCAYAAN

Sementara itu, pelaku industri dan bisnis dianggap sudah selayaknya didorong untuk memanfaatkan energi baru terbarukan guna mempercepat pertumbuhan green economy atau ekonomi hijau di Indonesia.  

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemanfaatan EBT akan menghasilkan pula produk hijau (green product). Selain mampu mengurangi penggunaan energi fosil di kalangan industri, EBT diyakini mampu menyerap dan menciptakan lapangan kerja baru. 

“Dampak dari pemanfaatan energi terbarukan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs). Selain dapat mengurangi emisi karbon, penggunaan energi bersih juga membuka kesempatan lapangan kerja baru dan mengatasi pengangguran sehingga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hijau,” katanya.

Adapun, Energi Terbarukan Internasional atau IRENA mencatat sektor energi terbarukan tahun lalu menciptakan 11,5 juta pekerjaan secara global di mana 3,8 juta pekerjaan berasal dari energi surya. Selain itu, sebesar 63% pekerjaan baru tersebut berada di Asia dan menjadi pemimpin pasar energi terbarukan.

Namun, lanjutnya, terciptanya lapangan kerja yang inklusif perlu didukung oleh kebijakan komprehensif dari berbagai pihak dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan para pekerja di sektor energi hijau. 

Selain itu, dukungan pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis berorientasi jangka panjang juga diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi di sektor EBT. 

“Dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar target green economy dapat tercapai dengan lebih terencana dan sistematis” kata Fabby. 

Akhirnya, transisi energi kini menjadi sesuatu yang memang tak terhindarkan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, ke depan panggung pengembangan EBT akan lebih megah, tentunya secara seimbang mengingat peran energi fosil yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Terkait hal tersebut, Pertamina memiliki posisi strategis sebagai katalis yang menjembatani transisi energi secara seimbang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lucky Leonard
Editor : Lucky Leonard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper