Sembilan bulan sudah Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) beroperasi. Tampaknya publik sudah sangat berharap atas realisasi proyek investasinya di sektor infrastruktur yang sebelumnya disebut-sebut akan dapat menarik investasi asing sampai berlipat-lipat kali dari modal awalnya.
Hal itu adalah harapan Presiden Jokowi pada saat pembentukan sovereign wealth fund (SWF) Indonesia yang merupakan anak kandung dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, alih-alih mengetahui kapan master fund dan thematic fund perdana LPI akan diluncurkan, yang banyak terdengar justru adalah kesibukan para pemilik proyek infrastruktur, terutama jalan tol yang menawarkan proyeknya untuk diambil alih LPI.
Bila diamati lebih jauh, proyek jalan tol yang disebut-sebut telah ditawarkan itu belum mature dari sisi komersial, tetapi justru proyek jalan tol baru. Seakan-akan posisi LPI dianggap sebagai standby offtaker untuk mengambil alih proyek infrastruktur yang kurang komersial dan mungkin juga over investment.
Salah besar bila demikian. Dalam PP No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi disebutkan bahwa LPI didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
Jadi, fungsi LPI sebagai ‘asset manager’ tidak hanya terbatas dalam value creation atas aset yang dikelolanya sehingga dapat meningkatkan nilai investasi atas aset tersebut.
Lebih dari itu juga berfungsi selayaknya ‘investment manager’ sehingga portofolio aset yang dikelolanya dapat di leverage untuk menarik masuk investasi asing sebagai co-investor dalam master fund atau thematic fund.
Hal ini bertujuan untuk mendukung pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur secara berkelanjutan di tengah keterbatasan kapasitas pembiayaan dalam negeri.
Dari sisi model bisnisnya, LPI memang memiliki genre yang secara fundamental berbeda dengan SWF lain pada umumnya yang aset utamanya berupa excess foreign reserve untuk diinvestasikan.
Adapun LPI dan juga SWF yang hampir mirip model bisnisnya, yaitu Russian Direct Investment Fund (RDIF). Aset utamanya adalah proyek-proyek di dalam negeri, termasuk di antaranya yang telah mature secara komersial sehingga dapat di leverage untuk menarik investasi asing masuk dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur lain, terutama dalam tahapan brownfield dan greenfield.
Alhasil, upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat masuknya investasi asing dalam pembiaayaan infrastruktur adalah dengan segera membentuk master fund dan thematic fund yang didukung underlying asset yang well balanced dan menarik secara finansial karena optimal dari sisi expected rate of return. Selain itu juga sesuai dengan preferensi sektor industri serta risk appetite dari anchor investor.
Selama 9 tahun beroperasi RDIF telah berhasil menarik masuk investasi asing dengan leverage sembilan kali dari modalnya ke lebih dari 90 proyek di berbagai sektor, mulai dari farmasi, pelayanan kesehatan, infrastruktur transportasi, produk subsitusi impor dan produk andalan ekspor, termasuk pesawat terbang, pembangunan regional dan juga teknologi.
Faktor utama yang besar perannya dalam kisah sukses RDIF adalah luasnya pilihan yang tersedia untuk memilih underlying assets dari berbagai sektor dan tahapan operasionalnya, sehingga dapat membentuk investment fund yang menarik bagi investasi asing.
Lesson learned yang dapat diambil adalah LPI jangan ditempatkan seakan-akan dalam posisi sebagai standby offtaker, tetapi dapat bertindak selayaknya sebagai priority buyer yang dapat memilih sendiri aset infrastruktur manapun yang diperlukan sebagai underlying assets untuk master fund and thematic fund-nya.
Untuk ini pada tahap awal pilihannya telah banyak tersedia berupa aset-aset infrastruktur yang telah mature secara komersial. Misalnya di bidang transportasi dan kelistrikan yang sangat diminati oleh banyak institutional investor di pasar global dan dapat di leverage untuk menarik masuk pembiayaan ke proyek-proyek infastruktur lainnya dalam tahapan under development.
Melalui mekanisme ini kemudian secara langsung akan terjadi proses asset recycling karena project owner dari proyek infrastruktur yang dialihkan ke LPI tersebut akan memiliki kapasitas finansial untuk membiayai pembangunan proyek infrastuktur berikutnya.
LPI sendiri akan berfungsi sebagai enabler untuk tercapainya multiplier effect dalam pembangunan infrastruktur dengan pendanaan dari investasi asing, karena dari satu putaran raising fund yang berhasil akan dapat membiayaai beberapa proyek infrastruktur sekaligus.
Dalam tahapan-tahapan berikutnya skema pembiayaan LPI ini secara berkesinambungan dapat diperluas juga untuk jenis infrastruktur lain seperti telekomunikasi, infrastruktur pendukung perkotaan (penyediaan air minum dan sanitasi), infrastruktur kesehatan, infrastruktur pendidikan dan lain-lain.