Bisnis.com, JAKARTA - Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) menyatakan bahwa akan menyelaraskan operasinya sesuai dengan Paris Agreement pada 1 Juli 2023 mendatang. Bank tersebut mengestimasi seluruh pembiayaan iklim yang disetujui akan mencapai US$50 miliar atau Rp715 triliun (kurs Rp14.300/US$) pada 2030.
Adapun, total dana tersebut mewakili kenaikan sebanyak empat kali lipat dalam komitmen pembiayan iklim AIIB sejak dilaporkan secara umum pada 2019.
Pada awal 2021, AIIB mengumumkan bahwa akan menargetkan setidaknya 50 persen bagian dari pembiayaan iklim dalam persetujuan pembiayaan aktual pada 2025. Pengumuman untuk menaikkan pembiayaan hingga empat kali lipat ini dinilai merupakan langkah penting untuk mencapai tujuan tersebut.
"Kita berada pada momen yang menentukan dalam sejarah—yang menyerukan tindakan kolektif yang berani, cepat, dan luas jika kita ingin membatasi pemanasan global dan melindungi planet kita yang rapuh,” ucap Presiden dan Ketua Dewan Direksi AIIB Jin Liqun pada konferensi pers virtual di sela-sela AIIB Annual Meeting, Selasa (26/10/2021).
"Pengumuman hari ini memperkuat janji lama AIIB untuk mendukung aksi iklim sejalan dengan Perjanjian Paris. Kami pikir langkah ke depan membutuhkan partisipasi yang lebih besar dari sektor swasta di semua lini, sehingga kami dapat secara kolektif memenuhi janji untuk membangun masa depan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan," tambah Presiden Jin seperti yang dikutip dari siaran resmi.
Jin menyatakan bahwa area fokus utama dari AIIB adalah untuk meningkatkan investasi dalam adaptasi dan ketahanan bagi negara anggota berpenghasilan rendah, serta mendorong teknologi baru untuk mendorong tindakan terhadap perubahan iklim.
Baca Juga
Komitmen Keselarasan sesuai dengan Perjanjian Paris (The Paris Alignment) akan berlaku untuk proyek-proyek sovereign dan non-sovereign, termasuk investasi yang dilakukan melalui perantara keuangan.
AIIB saat ini sedang menguji proses yang ketat untuk memastikan proyek memenuhi standar rendah karbon dan ketahanan iklim yang konsisten dengan Perjanjian Paris. Pendekatan ini mengacu pada standar dan kerangka kerja internasional yang saat ini sedang dikembangkan bekerja sama dengan bank pembangunan multilateral lainnya.
Sementara itu, menjelang COP26 pada November, lebih dari 130 negara telah menetapkan atau sedang mempertimbangkan target emisi nol (net-zero carbon emission) pada 2050. Namun, AIIB menilai tingkat ambisi yang ditetapkan dalam rencana ini, secara agregat, masih terlalu rendah bagi masyarakat internasional untuk memenuhi kesepakatan target yang ada di Perjanjian Paris.
Adapun, kesepakatan targaet tersebut adalah untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau lebih rendah hingga 1,5 derajat dibandingkan dengan tingkat pra-industri. AIIB melihat pemanfaatan pengembangan teknologi sebagai kunci untuk meningkatkan ambisi iklim tersebut.
"Sebagai MDB [Multilateral Development Banks] yang terletak di pusat inovasi, kami percaya bahwa teknologi dapat bertindak sebagai pengungkit untuk mengekang emisi gas rumah kaca," ujar Presiden Jin.
Namun, dia melihat hal ini akan membutuhkan pendekatan yang lebih terfokus pada adopsi teknologi baru sebagai elemen penting dari setiap respons komprehensif terhadap perubahan iklim global. Pada akhirnya, kami membutuhkan sektor swasta dan investor institusi untuk datang ke meja untuk bermitra dengan kami sehingga kami dapat memerangi dampak terburuk pada perubahan iklim.
Fokus yang diperluas pada adaptasi dan ketahanan akan melengkapi target ambisius AIIB untuk memiliki pendanaan iklim yang mewakili 50 persen dari persetujuan pendanaan AIIB pada 2025. Pendanaan iklim menyumbang 41 persen dari portofolio infrastruktur bank pada tahun 2020.
Menurutnya, tidak ada solusi satu ukuran untuk semua. Adaptasi pendanaan yang tepat mengakui bahwa pekerjaan ini mungkin memerlukan perubahan mendasar dalam infrastruktur dan perilaku masyarakat.
Tembok banjir, standar bangunan yang ditingkatkan, infrastruktur yang tangguh adalah semua alat yang dimiliki saat ini, kata Presiden Jin.
"Namun, akses terhadap dana untuk menerapkan langkah-langkah ini sangat penting, terutama di negara-negara berkembang," tambahnya.
Biaya ketahanan tahunan di negara berkembang saja diperkirakan berkisar hingga US$140 miliar sampai US$300 miliar pada 2030. Saat ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pembiayaan ketahanan hanya mencapai USD30 miliar.
Pada 2020, AIIB meluncurkan Kerangka Investasi Perubahan Iklim AIIB-Amundi (AIIB-Amundi Climate Change Investment Framework), yang bertujuan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon melalui pasar modal.
Kerangka kerja ini memungkinkan investor untuk menganalisis risiko iklim dengan peluang investasi dengan menerjemahkan tiga tujuan Perjanjian Paris (mitigasi, ketahanan terhadap perubahan fisik, dan transisi ke ekonomi hijau) ke dalam metrik investasi yang dapat diukur dengan menyelaraskan arus keuangan dengan jalan rendah karbon dan ketahanan iklim.