Bisnis.com, JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) masih menjadi andalan pemerintah dalam menopang energi baru terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
Meski namanya kalah tenar dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit tenaga air menjadi tulang punggung penopang bauran energi bersih.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya mengatakan bahwa PLTA menjadi tulang punggung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk saat ini hingga 10 tahun ke depan.
“Ini berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2021–2030 yang baru disahkan,” katanya, Rabu (27/10/2021).
Berdasarkan RUPTL 2021–2030, kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 megawatt (MW). Kapasitas itu terbagi pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA/MH) mencapai 10.391 MW, PLTB 597 MW, PLT Bio 590 MW, PLTP 3.355 MW, PLTS 4.680 MW, PLT EBT Base 1.010 MW, dan battery energy storage system (BESS) 300 MW.
Menurutnya, potensi energi air di Indonesia mencapai 94 gigawatt (GW), sedangkan pemanfaatannya baru mencapai 6,2 GW. Karena itu, pemerintah mendorong pembangunan PLTA di beberapa lokasi.
Baca Juga
Beberapa di antaranya PLTA Poso yang akan berfungsi sebagai peaker dengan kapasitas 515 MW, PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 510 MW, dan PLTA upper Cisokan pumped storage sebesar 1000 MW.
Dalam upaya transisi dari fosil ke energi terbarukan, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan hijau untuk mengurangi energi fosil.
Beberapa hal yang dicanangkan pemerintah, antara lain penerapan pajak dan perdagangan karbon, kemudian co-firing PLTU dengan EBT. Selain itu, Negara juga turut mendorong penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, dan memanfaatkan carbon capture and storage.
Proses transisi menuju EBT itu, lanjutnya, akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya krisis energi seperti di China, dan Inggris.
Sementara itu, Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur menilai, kebijakan transisi energi fosil ke energi terbarukan perlu dukungan semua pihak karena pemerintah tidak akan mampu melakukannya sendiri.
“Kita harus mampu melakukan transisi energi karena peningkatan porsi energi terbarukan sangat penting untuk pengurangan emisi karbon, selain ketahanan dan kemandirian energi,” ujarnya.
Dampak penggunaan EBT dalam mengurangi emisi, menurutnya, cukup besar. Secara hitung-hitungan, 1 MW dari pembangkit EBT mampu mengurangi 483 ton emisi karbon.
Misalnya, PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun, atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.
Dari contoh itu, kata dia, menunjukan pemanfaatan pembangkit listrik dari energi terbarukan, seperti PLTA mampu mengurangi emisi karbon sangat signifikan. Hal tersebut juga dinilai menjadi upaya mitigasi perubahan iklim yang telah disetujui dalam Kesepakatan Paris.