Bisnis.com, JAKARTA — Neraca Perdagangan Indonesia untuk Kawasan Pasifik mengalami defisit yang relatif lebar mencapai US$3,74 miliar pada periode Januari hingga Agustus tahun ini. Pencatatan itu berasal dari defisit neraca minyak dan gas mencapai US$0,32 miliar dan defisit neraca nonmigas sebesar US$3,42 miliar.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri menuturkan realisasi impor Indonesia dari kawasan pasifik didominasi oleh barang bahan baku yang diolah untuk produk jadi di Tanah Air.
Dengan demikian, Kasan menerangkan defisit neraca dagang itu tidak perlu dikhawatirkan karena bersifat produktif bagi industri hilir dalam negeri.
“Saya tidak terlalu risau dengan kenaikan impor ini karena yang diimpor itu sebagian besar bahan baku seperti gandum, raw sugar lalu ada juga bahan-bahan yang berkaitan untuk industri batu bara hingga hewan hidup,” kata Kasan saat memberi keterangan pers secara daring, Jumat (22/10/2021).
Kasan menggarisbawahi kepentingan impor Indonesia dari Kawasan Pasifik ditandai dengan barang-barang produktif untuk membantu industri nasional. Misalkan barang impor itu, lanjut Kasan, diolah kembali untuk menjadi produk bernilai tambah seperti wafer, biskuit, produk manufaktur, elektronik, pupuk, otomotif hingga turunan dari kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
“Kalau pun kita mengalami defisit ada hal-hal yang posisinya kita saling membutuhkan,” kata dia.
Berdasarkan laporan otoritas perdagangan, ekspor nonmigas Indonesia ke sejumlah negara di kawasan Pasifik sebesar US$2,47 miliar atau naik 30,54 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu. Ekspor nonmigas itu didominasi oleh LCD, LED, non-konifer dari kayu tropis dan kacang sawit atau kernel.
Di sisi lain, impor nonmigas Indonesia dari kawasan itu mencapai US$5,90 miliar atau naik sebesar 84,45 persen secara tahunan. Kegiatan impor itu didominasi oleh produk turunan gandum, batu bara, dan gula mentah.