Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom merekomendasikan penataan ulang kebijakan perberasan nasional demi memperbaiki rantai nilai dari hulu ke hilir. Mekanisme kebijakan saat ini dinilai kurang efektif.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyoroti kebijakan pemerintah yang menugasi Perum Bulog untuk menyerap beras dalam negeri dengan volume tertentu, tetapi tidak berhasil menjaga harga di sisi hulu. Selain itu, Perum Bulog juga tidak diberi opsi penyaluran beras yang mumpuni.
Khudori menilai stok CBP yang benar-benar dimiliki pemerintah saat ini hanya berkisar di angka 300.000 ton, mengacu pada realisasi penyaluran beras untuk operasi pasar yang dilakukan Bulog.
“Sekarang ini riil CBP yang dimiliki pemerintah hanya 300.000-an ton. Kalau pemerintah mengatakan CBP 1,2 juta ton itu klaim sepihak, karena termasuk stok milik Bulog,” katanya, Senin (18/10/2021).
Jika pemerintah konsisten menyiapkan CBP untuk stabilisasi harga di hulu maupun di hilir, kata Khudori, volume cadangan beras perlu dihitung ulang. Dia mengatakan perhitungan stok 1,2 sampai 2 juta ton tidak lagi relevan jika melihat situasi perberasan kini.
“Itu hitung-hitungan 7 sampai 8 tahun lalu. Dengan kondisi CBP sekarang dan tak ada kewajiban Bulog mengisi beras untuk bantuan pangan, harga gabah di petani, dan penggilingan jatuh beruntun,” lanjutnya.
Pergerakan harga ini terlihat dari tren harga gabah yang berada di bawah harga pembelian pemerintah sejak April 2020. Khudori mengatakan penurunan harga terjadi meski panen raya telah berlalu.
“Pada era normal, harga jatuh hanya terjadi pada musim panen raya, sekarang masa paceklik harga juga turun. Saya merekomendasikan kebijakan perberasan itu ditata-ulang, seluruhnya,” kata Khudori.
Ombudsman RI mengusulkan sejumlah perbaikan kebijakan terkait tata kelola CBP. Lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik itu mendapati 12 temuan terkait tata kelola CBP setelah melakukan investigasi selama 5 bulan terakhir.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menjelaskan terdapat temuan dalam sejumlah aspek. Dalam ruang lingkup perencanaan dan penetapan CBP, Ombudsman mencatat 2 temuan. Yeka mengatakan tidak ada perencanaan pangan nasional dalam tata kelola CBP dan besaran jumlah CBP tidak ditetapkan oleh pemerintah.
Sementara di lingkup pengadaan, Ombudsman mencatat 3 temuan. Pertama, tidak memadainya teknologi pendukung pascapanen. Lalu tidak optimalnya pengadaan beras dalam negeri dan ketiadaan indikator dalam pengambilan keputusan importasi beras.
Ombudsman juga menyoroti soal aspek perawatan dan penyimpanan CBP. Hasil investigasi Ombudsman mencatat 2 temuan yaitu pencatatan perawatan (spraying dan fumigasi) CBP yang tidak cermat. Selain itu, penyimpanan di gudang Perum Bulog juga tidak teratur.