Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Efektivitas Tax Amnesty Jilid II

Program tax amnesty jilid II yang kembali diberlakukan akan membuka kesempatan bagi peserta tax amnesty 2016 yang belum lengkap melaporkan hartanya. Seberapa efektif tax amnesty jilid II?
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3)./Antara-Atika Fauziyyah
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3)./Antara-Atika Fauziyyah

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan memulai program pengungkapan sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II pada 1 Januari 2022.

Rencana pemerintah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan DPR RI pada awal Oktober 2021.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan tax amnesty yang kembali diberlakukan akan membuka kesempatan bagi peserta tax amnesty 2016 yang saat itu belum lengkap melaporkan hartanya.

“Jadi orang [wajib pajak] yang mungkin kececer dalam pelaporannya atau mungkin masih meragukan kemarin dengan adanya tax amnesty, sekarang ada kesempatannya,” katanya kepada Bisnis, Minggu (17/10/2021).

Meski demikian, Hariyadi menilai peminat tax amnesty jilid II tersebut tidak akan sebanyak peminat program pengampunan pajak pada 2016 lalu. Namun, dia menilai kembali diberlakukan tax amnesty menunjukkan bahwa negara kembali memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melaporkan hartanya secara akurat.

“Semua orang memiliki kesempatan yang sama dan keadilannya di tarif, otomatis yang bayar belakangan tarifnya lebih tinggi, tebusannya lebih tinggi,” jelasnya.

Dia pun menyampaikan, pemerintah perlu segera menyosialisasikan program pengungkapan sukarela tersebut sehingga dapat berjalan secara optimal.

“Sosialisasi penting supaya yang ikut [tax amnesty jilid II] bisa lebih optimal dan sesuai harapan pemerintah, semua masyarakat melaporkan dengan akurat bisa tercapai,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah dalam UU HPP menyasar dua kelompok. Pertama, peserta tax amnesty periode 2016-2017. Tarif PPh yang ditetapkan untuk kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri

8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri

6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), dan hilirisasi sumber daya alam (SDA), serta energi baru dan terbarukan (EBT).

Kelompok kedua, yaitu WP orang pribadi yang memperoleh aset dan belum melaporkannya sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020. Kelompok ini akan dikenakan PPh Final dengan tarif berikut:

18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri

14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri

12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN serta hilirisasi SDA dan EBT.

Pada kesempatan berbeda, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai antusias tax amnesty jilid II tidak akan sebesar program pertama.

“Seharusnya dengan sudah adanya program tax amnesty jilid I dan cakupan penerimaan manfaat juga lebih beragam saya kira program pengampunan pajak jilid II memang antusiasnya tidak akan semewah program pengampunan pajak jilid I,” katanya.

Yusuf mengataka  yang perlu menjadi perhatian adalah potensi tergerusnya penerimaan pajak pada beberapa pos dengan adanya program pengampunan pajak jilid II tersebut.

Dia menjelaskan, jika belajar dari pengalaman pengampunan pajak jilid I, beberapa pos pajak justru mengalami kontraksi pertumbuhan, misalnya pada pos PPh.

“Hal ini terjadi karena ketika itu salah satu fasilitas dalam program tax amnesty, yaitu penghapusan sanksi administrasi atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan, sanksi yang berpotensi lebih besar menjadi lebih kecil karena perlakuan tarif tertentu,” jelasnya.

Dia mengatakan, jika tren ini berlanjut pada 2022, maka kebijakan ini akan bertolak belakang dengan rencana pemerintah dalam menggejot penerimaan pajak untuk proses konsolidasi fiskal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper