Bisnis.com, JAKARTA - Dugaan ekspor nikel ke China yang berawal dari pernyataan ekonom Faisal Basri dan kemudian dibantah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menjadi polemik di media sosial.
Di Twitter, tudingan dan bantahan tersebut disorot oleh Lukman Simandjuntak, pemilik akun @hipohan.
"BPS bantah Faisal Basri karena di 2020 berdasarkan data BPS tidal ada ekspor nikel untuk kode HS 2604. Namun, kenapa General Custom Administration of China catat di 2020 ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai US$1963,6 juta? Anda percaya Faisal Basri atau BPS?" kata akun tersebut, Sabtu (16/10/2021).
BPS bantah Faisal Basri, krn di 2020 berdasarkan data BPS tdk ada ekspor untuk kode HS 2604 nickel. Namun, kenapa General Customs Administration of China catat di 2020 ada 3,4 juta ton impor dr Indonesia dgn nilai US$ 193,6 juta ? Anda percaya Faisal atau BPS ? ~ pic.twitter.com/UD7PxycGWd
— Lukman Simandjuntak (@hipohan) October 15, 2021
Sebelumnya, Faisal yang merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyampaikan keganjilan data General Customs Administration of China pada 2020, yang berlawanan dengan catatan ekspor bijih nikel Indonesia.
Menurut Faisal, nilai impor itu mencapai US$193,6 juta, atau sekitar Rp2,8 triliun. Pernyataan itu telah dibantah oleh BPS yang mengatakan pada tahun lalu, ekspor nikel Indonesia tercatat nihil.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan nihilnya ekspor itu sejalan dengan pemberlakuan larangan ekspor komoditas dengan nomor HS 2604.
Sebagian netizen menyatakan lebih percaya pernyataan Faisal Basri.
"Saya lebih percaya Faisal Basri," ungkap pemilik akun @EmhadiUsman.
"Lebih percaya Faisal. Itu saja," timpal akun @YVarino.
Sebelumnya Faisal juga mengungkap bahwa masalah serupa terjadi pada 2018, saat China mencatat impor nikel dari Indonesia senilai US$2,9 miliar. Tetapi, data ekspor nikel Indonesia ke China saat itu hanya US$2,6 miliar, sehingga terdapat selisih sekitar US$300 juta.
"Lima tahun terakhir kerugian negara sudah ratusan triliun rupiah, ini saja 2020 sudah Rp2,8 triliun. 2018 ini entah under report, entah apa, tapi kita kasih clue-nya. Ini lho yang harus diaudit, biar menyeluruh," ujar Faisal.