Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pada 2020 tidak terdapat ekspor bijih nikel. Hal tersebut berkebalikan dengan ekonom senior Faisal Basri yang mengungkap bahwa ekspor ke China masih terjadi, meski terdapat larangan.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan pada tahun lalu, BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel. Nihilnya catatan ekspor itu sejalan dengan pemberlakuan larangan ekspor komoditas dengan nomor HS 2604.
"2020 itu data ekspornya enggak ada, nol, nihil. Dari rilis kami, 2020 ekspor bijih nikel ke China angkanya nol atau nihil," ujar Margo dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/10/2021).
Meskipun begitu, Margo tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut terkait dugaan masih terjadinya ekspor pada tahun lalu. Dia hanya menyampaikan bahwa berdasarkan catatan BPS, tidak terdapat ekspor bijih nikel pada 2020.
"Ini saya tidak bisa bercerita lain, tapi dari data kami menyebutkan 2020 itu tidak ada ekspor [bijih nikel] ke China," ujarnya.
Sebelumnya, Faisal yang merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyampaikan bahwa berdasarkan data General Customs Administration of China pada 2020, terdapat impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia. Data itu berlawanan dengan catatan ekspor bijih nikel Indonesia yang nihil.
Menurut Faisal, nilai impor itu mencapai US$193,6 juta, atau sekitar Rp2,8 triliun jika mengacu kepada rata-rata nilai tukar JISDOR 2020 senilai Rp14,577 per dolar AS.
Masalah serupa terjadi pada 2018, saat China mencatat impor nikel dari Indonesia senilai US$2,9 miliar. Namun, data ekspor nikel Indonesia ke China saat itu hanya US$2,6 miliar, sehingga terdapat selisih sekitar US$300 juta.
"Lima tahun terakhir kerugian negara sudah ratusan triliun rupiah, ini saja 2020 sudah Rp2,8 triliun. 2018 ini entah under report, entah apa, tapi kita kasih clue-nya. Ini lho yang harus diaudit, biar menyeluruh," ujar Faisal pada Selasa (12/10/2021).