Bisnis.com, JAKARTA — Potensi kerugian negara akibat perbedaan perhitungan kadar bijih nikel diperkirakan mencapai Rp400 miliar per tahun. Angka itu hanya berasal dari kalkulasi di Morowali, Sulawesi Tengah, sehingga potensi kerugian secara nasional mungkin lebih besar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan bahwa terdapat masalah tata niaga nikel, yakni perbedaan signifikan terhadap hasil pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir. Menurutnya, hal tersebut kerap merugikan penambang di hulu.
Dia memaparkan bahwa investor di hilir seringkali menetapkan kadar nikel yang lebih rendah dibandingkan dengan penambang di hulu. Dalam kasus di Morowali, surveyor dari investor di hilir menetapkan kadar 1,5 persen, sedangkan kadar di hulu adalah 1,87 persen.
"Ini perbedaan yang mengundang tanda tanya karena sangat jauh. Ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan sudah merugikan pengusaha di sektor hulu pertambangan, juga memengaruhi penerimaan negara," ujar Faisal pada Selasa (12/10/2021).
Dia menjelaskan penentuan kadar biji nikel yang lebih rendah dapat memengaruhi penerimaan royalti bagi negara. Misalnya, selisih kadar 0,37 persen dikalikan dengan harga patokan mineral (HPM), lalu dikalikan dengan nilai tukar rupiah, kemudian dikali total produksi 2020 yang berkisar 14 juta ton.
"Total kerugian negara dari berkurangnya penerimaan royalti bisa setara Rp400 miliar per tahun, kalau mengacu ke kasus 2020. Ini baru dari royalti, belum dari pos penerimaan lain, dan ini baru dari satu tempat saja, kasus Morowali," ujar Faisal.
Menurutnya, potensi kerugian negara di Morowali saja sudah setara dengan 10 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Tengah. Jika kasus serupa terjadi di smelter lain, potensi kerugian negara secara nasional dapat membengkak.
Selain itu, Faisal menilai di sektor pertambangan, khususnya nikel terdapat kasus yang mengarah kepada illicit financial flow (IFF). Kasus itu terkait perpindahan dana gelap ke negara lain, yang didapatkan, ditransfer, atau digunakan secara ilegal dalam lintas batas yurisdiksi.
Berdasarkan data Global Financial Integrity, rata-rata IIF pada kurun 2008–2017 mencapai US$43 miliar. Menurut Faisal, hal tersebut berpotensi merugikan negara dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Dia melihat adanya indikasi IFF terjadi di Tanah Air, karena adanya data impor bijih nikel di China senilai US$4 juta pada 2016 yang berasal dari Indonesia. Padahal, sejak 2014 pemerintah melarang ekspor bijih nikel sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 1/2014.
Menurut Faisal, dengan asumsi nilai tukar Rp13.000 per dolar AS, nilai ekspor bijih nikel ke China itu setara dengan Rp57 miliar. Dengan tarif royalti 5 persen, negara seharusnya memperoleh penerimaan Rp2,8 miliar.
"Indonesia negara yang dirugikan dari praktik IIF," ujarnya.