Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economics atau Core Indonesia menilai bahwa dari tahun ke tahun terdapat temuan indikasi kerugian negara dari sektor pertambangan. Perbaikan tata kelola menjadi perlu agar penerimaan negara dari sektor tersebut dapat meningkat dengan optimal.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat banyak temuan potensi kerugian negara dari sektor pertambangan. Dia memaparkan persoalan dari tahun ke tahun sejak 2015, dan menurutnya terdapat kemungkinan sejumlah masalah masih terjadi saat ini.
"Berdasarkan laporan audit BPK, beberapa tahun yang lalu ada banyak temuan, seringkali ada banyak kesalahan atau kekurangan perhitungan penerimaan negara bukan pajak [PNBP]," ujar Faisal dalam diskusi media bertajuk Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan, Selasa (12/10/2021).
Pada 2015 terdapat temuan pajak bumi dan bangunan (PBB) pertambangan sektor mineral dan batubara (minerba) belum dibayar dan/atau kurang ditetapkan. Lalu, pada 2016 ditemukan adanya kelemahan dalam pengendalian dan pengawasan produksi terhadap perusahaan minerba.
Pada 2017, perencanaan dan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri oleh PT Freeport Indonesia berjalan berlarut-larut. Akibatnya, pembangunan itu melewati batas waktu larangan ekspor dalam bentuk mineral mentah maupun setengah jadi (concentrate).
"Pada 2018 terkait kesalahan perhitungan royalti dan dana hasil produksi batubara [DHPB] Rp181,32 miliar dan US$669.080," ujar Faisal.
Lalu, pada 2019 terdapat 21 perusahaan yang kurang cermat menghitung PNBP sumber daya alam (SDA). Ini pun berakibat terjadi kekurangan penerimaan iuran tetap, DPHB, royalti, penjualan hasil tambang, serta denda sebesar Rp328,13 miliar dan US$38,66 juta.
Pada 2020 tercatat bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kurang menerima PNBP Tahun 2019 sebesar US$34,77 juta dan Rp205,38 miliar. Kekurangan itu berasal dari 10 perusahaan minerba, terdiri atas kewajiban iuran tetap, DHPB, royalti, dan denda.
"2020 membawa kerugian bagi negara, semestinya kita bisa mendapatkan PNBP lebih besar," ujar Faisal.
Dia menjelaskan bahwa pemerintah perlu mendorong perbaikan tata kelola di sektor pertambangan untuk menambal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal tersebut menjadi amat penting jika pemerintah ingin mengejar pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
"Apalagi ke depan 2023 akan kembali ke disiplin fiskal 3 persen [defist APBN], penerimaan harus ditingkatkan," ujar Faisal.