Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) diminta mengkaji ulang rencana untuk melanjutkan proyek pembangkit listrik bermasalah dalam 10 tahun ke depan dengan sejumlah pertimbangan utama.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pembangkit bermasalah tersebut umumnya berskala kecil. Bahkan sebagian berlokasi di wilayah terpencil.
Selain itu, PLN harus menghadapi kemungkinan kecil mendapat dukungan pembiayaan untuk membangun kembali PLTU. Sebab itu, dia pesimistis program ini akan dapat dilaksanakan.
“Karena ini proyeknya kecil-kecil dan dugaan saya kalau pun dapat pendanaan maka kemungkinan interest rate-nya akan tinggi. Ditambah dengan harga batubara dan transportasi batubara, maka harga listrik dari PLTU ini sepertinya akan cukup mahal,” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Sebab itu dia meminta agar perusahaan setrum itu mengkaji ulang kelanjutan proyek ini. Sebaliknya dia menyarankan bila proyek tetap berlanjut, maka lebih baik menggantinya dengan pembangkit berbasis energi baru terbarukan.
“Jika dapat dibatalkan proyeknya dan diganti dengan pembangkit energi terbarukan akan lebih baik karena dengan mengganti PLTU dengan pembangkit EBT akan menguntungkan PLN dalam jangka panjang,” terangnya.
Baca Juga
PLN mendata 34 PLT masuk dalam proyek terkendala. Mayoritas atau 31 pembangkit merupakan PLTU dan sisanya merupakan pembangkit listrik tenaga minihidro. Total dari seluruh pembangkit ini mencapai 625 megawatt (MW)
Sebagian proyek terkendala sudah beroperasi baik dengan penyelesaian proyek terkait maupun dengan penggantian dengan proyek lain atau dengan GI. Selain itu, terdapat satu proyek terkendala yang sudah diterminasi yaitu PLTU Ambon Waai 2x15 MW.
Proyek-proyek terkendala lain sudah direncanakan penyelesaiannya, baik dengan penyelesaian pembangkit terkait maupun dengan penggantian pembangkit maupun dengan pembangunan GI.
Proyek-proyek yang dalam waktu dekat akan diselesaikan seperti PLTU Malinau 2x3, PLTU Tanjung Redeb 2x7 MW, PLTU Sofifi 2x3 MW dan PLTU Talaud 2x3 MW.
PLTU Parit Baru 2x50 MW, PLTU Bengkayang 2x17,5 MW, PLTU Alor 2x3 MW dan lainnya dievaluasi workability-nya baik dari sisi penyelesaian masalah hukum maupun penyelesaian konstruksi di lapangan.
Selain itu, pada RUPTL ini COD (commercial operation date) diasumsikan setelah tahun 2024 agar tidak mengganggu rencana penambahan pembangkit dan kesiapan pasokan sistem terkait.
“Jika telah terdapat titik terang penyelesaian, maka pembangkit tersebut akan diasumsikan COD-nya sesuai waktu penyelesaian yang realistis,” tulis laporan RUPTL.