Bisnis.com, JAKARTA — Agen pelayaran asing atau Main Line Operator (MLO) di Indonesia telah mengoptimalkan alokasi kontainer eks impor bagi eksportir Indonesia.
Para agen MLO tersebut juga sepakat bahwa persoalan kelangkaan kontainer saat ini bukan lagi menjadi isu utama yang dihadapi pelaku. Namun permasalahan saat ini adalah kesediaan ruang kapal akibat kondisi perdagangan global.
Senior Director A.P. Moller - Maersk Erry Hardianto menjelaskan Maersk Group sudah mengalokasikan sebesar 100 persen kontainer eks impor untuk mendukung ekspor pelaku usaha di Indonesia. Namun, lanjutnya, untuk sebagian kecil pelabuhan memang ada ketidak cocokan atau mismatch antara ukuran dan tipe kontainer yang masuk untuk impor dan yang digunakan untuk ekpor.
"Dalam mismatch ini, sudah kami atasi dengan mendistribukan kembali container tersebut melalu transhipment hub kami. Di atas itu, untuk mencukupi kebutuhan akan kontainer kosong untuk ekspor, kami terus meningkatkan pengangkutan kontainer kosong dari transhipment port kami," ujarnya, Rabu (6/10/2021).
Truk melintas di kawasan pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). /Bisnis-Himawan L Nugraha
Dia juga memaparkan secara year-to-date, Maersk telah membawa kontainer kosong ke Indonesia 53 persen lebih banyak pada semester I/2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga
Ketersidiaan kontainer, tekannya, terus dilakukan untuk mendukung kegiatan logistik di Indonesia. Dengan demikian tak ada persoalan yang mendesak terkait dengan kelangkaan kontainer.
Menurutnya, saat ini justru persoalan yang dihadapi pelaku pelayaran cukup kompleks. Sejumlah isu tersebut, kata dia, berkaitan dengan perdagangan global yang saat ini mengalami peningkatan permintaan tetapi masih terjadinya kongesti di pelabuhan-pelabuhan utama negara maju.
"Sebagai contoh, pelabuhan Los Angeles dan Felixstowe, kapal harus menunggu 14 hari untuk dapat sandar, karena waktu tunggu yang lama ini, kapal tidak dapat beroperasi secara optimal dan frekuensi berlayar juga berkurang drastis, sehingga mengakibatkan efek domino ke ketersediaan ruang kapal," jelasnya.
Senada, Deputy Managing Director PT Cosco Shipping Lines Indonesia Hendra Kusuma menyampaikan pihaknya sudah maksimal dalam mengalokasikan ketersedian kontainer bagi eksportir di Indonesia. Menurutnya, tak hanya bagi Cosco, seluruh agen pelayaran pasti akan melalukan langkah serupa supaya tidak menambah bebam biaya.
"Kalau kontainer masuk ke Indonesia untuk impor, bagi pelaku pelayaran semuanya juga pasti ingin digunakan untuk ekspor lagi. Kalau 100 persen yang masuk, idealnya kami juga pastinya nggak mau mengeluarkan dalam bentuk kontainer kosong," katanya.
Pada praktiknya, persoalan kelangkaan kontainer yang muncul pada awal pandemi sudah tak lagi menjadi isu utama yang dihadapi pengguna jasa. Namun, sayangnya persoalan itu sudah tertanam di benak para pelaku sehingga isu tersebut terus mencuat kembali.
Terminal kontainer peti kemas di India. /Bloomberg
Sebelumnya, Managing Director MSC Dhany Novianto menjelaskan persoalan yang dialami pelaku bukanlah terkait dengan kelangkaan kontainer sehingga kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah untuk mendorong laju impor ke Indonesia. Menurutnya para MLO juga sudah selalu memasukan peti kemas kosong ke Indonesia setiap minggunya untuk menopang kebutuhan ekspor karena kontainer dari impor tidak cukup.
“Kami sudah mengalokasikan peti kemas eks impor, tergantung kebutuhan masing masing MLO setiap minggu. Angkanya bervariasi. Kami MSC selalu membawa peti kemas kosong masuk ke Jakarta dan Surabaya, khususnya 40HC sebanyak 500 unit setiap minggu masing-masing untuk Jakarta dan Surabaya,” ujarnya.
Menurutnya upaya tersebut sudah cukup membantu bagi eksportir dari sisi kebutuhan kontainer.
“Seperti yang tadi saya sampaikan permasalahan utama sekarang ini adalah kelangkaan ruang kapal di mother vessel. Kelangkaan ruang kapal dikarenakan imbas dari pada kongesti yang terjadi di pelabuhan Amerika, Eropa dan di China yang menyebabkan kapal terlambat kembali ke Asia,” imbuhnya.
Munxulnya lonjakan tarif ocean freight juga dikarenakan karena kurangnya ketersediaan kapal akibat terlambat dari jadwal semula saat kembali ke Asia. Kapal-kapal tersebut mengalami kongesti di sejumlah pelabuhan. Selain tentunya juga naiknya harga bahan bakar minyak ( bunker ).
“Terkait dengan ocean freight tersebut sudah diatur langsung oleh kantor pusat untuk kami tawarkan di pasar sesuai panduan dari kantor pusat mengacu terhadap dua hal tersebut yang telah disebutkan,” tekannya.