Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen pada 2022 dinilai akan menurunkan tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Ahmad Heri Firdaus. Dia memprediksi kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02 persen.
Dengan demikian, upah riil juga berpotensi mengalami penurunan hingga 6,2 persen meski upah secara nominal meningkat. Hal ini dikarenakan tingkat inflasi yang diperkirakan meningkat sebesar 0,4 persen.
“Nah, kalau upah riil turun, maka akan mendorong penurunan konsumsi,” katanya dalam acara diskusi virtual, Rabu (6/10/2021).
Ahmad memperkirakan, tingkat konsumsi masyarakat berpotensi turun hingga 2,05 persen. Secara rata-rata tingkat konsumsi di seluruh kelompok pendapatan akan turun sebesar 2 persen.
Di samping itu, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen menurutnya juga akan menurunkan pendapatan sekitar 5 persen secara rerata di seluruh kelompok rumah tangga. Oleh karenanya, dia mengatakan kondisi ini dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan ekonomi.
“Kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah rendahnya daya beli masyarakat di masa pasca pandemi Covid-19. Semakin lemahnya daya beli masyarakat tentu akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati untuk menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen, yang mulai berlaku pada 1 April 2022, dan naik menjadi 12 persen pada 2025.
Aturan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang rencananya akan disepakati dalam rapat paripurna DPR RI pada Kamis, 7 Oktober 2021.