Bisnis.com, JAKARTA — Komisi IX DPR RI meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk berhati-hati terkait pengelolaan dana pekerja yang mencapai Rp514,71 triliun pada Agustus 2021.
Permintaan itu disampaikan saat mengadakan rapat kerja secara tertutup bersama dengan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo pada Senin (4/10/2021).
“Terkait investasi dana prinsipnya sesuai asas kehati-hatian sebagaimana ada dalam UU BPJS dan aturan hukum lain yang berlaku,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena melalui pesan tertulis kepada Bisnis selepas raker itu.
Berdasarkan laporan kesimpulan rapat yang diterima Bisnis, Komisi IX mendesak Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan keamanan dana dengan hasil investasi yang memadai dan menghindari penempatan investasi yang berpotensi menimbulkan kerugian.
“Instrumen yang dipilih sesuai mekanisme yang diatur dalam aturan direksi oleh tim komite investasi,” kata Melki.
Bisnis mencoba menghubungi Anggoro untuk mengetahui pembahasan dalam rapat kerja tertutup tersebut melalui sambungan telepon dan pesan tertulis namun tidak mendapat tanggapan hingga berita ini dinaikkan.
Baca Juga
Sebelumnya, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan alokasi pengelolaan dana pada instrumen saham dan reksadana. Timboel beralasan imbal hasil dari dua instrumen itu relatif lebih tinggi dibandingkan surat beharga negara (SBN) dan deposito.
Adapun, alokasi pengelolaan dana di BPJS Ketenagakerjaan lebih banyak disalurkan pada SBN sekitar 63,1 persen, sementara pada instrumen saham berada di posisi 15,9 persen, deposito mencapai 12,2 persen, reksadana sebesar 8,3 persen, properti sebesar 0,4 persen dan sisanya pada penyertaan langsung sebesar 0,1 persen.
“Tentunya ini masih terkendala dengan adanya penyidikan oleh Kejaksaan Agung mengenai unrealized loss yang hingga kini belum selesai. Belum selesaianya kasus penyidikan di Kejaksaan Agung menyandera direksi baru BPJS Ketenagakerjaan untuk menambah dana investasi di saham dan reksadana,” kata Timboel melalui keterangan tertulis kepada Bisnis, Jakarta, Senin (4/10/2021).
Pegawai melintasi logo BPJS Ketenagakerjaan di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). /Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Kendati demikian, dia menegaskan, imbal hasil dari SBN cenderung stabil di kisaran 6,6 hingga 6,7 persen untuk tenor 10 tahun. Menurut dia, imbal hasil itu lebih rendah dari pengelolaan dana di instrumen saham dan reksadana. Hanya saja, tingkat keamanan SBN relatif lebih tinggi dibandingkan saham yang bersifat fluktuatif.
“Namun demikian saham yang dibeli BPJS Ketenagakerjaan adalah saham-saham unggulan, kategori saham LQ45, yang memang masih berpotensi memberikan imbal hasil di atas 10 persen pada masa pendemi ini,” kata dia.
Sampai 31 Agustus 2021, realisasi hasil investasi dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp22,48 triliun atau sekitar 60,11 persen dari target Rp37,40 triliun. Bila mengacu pada target, dia menggarisbawahi, semestinya secara rata-rata di akhir Agustus realisasi investasi mencapai Rp 24,93 triliun.
“Sebaiknya direksi memiliki strategi untuk mencapai target hasil investasi di 2021, yang di akhir Agustus 2021 target yang belum tercapai sekitar Rp 2,45 triliun. Hal ini penting agar imbal hasil kepada pekerja bisa lebih baik dari tahun lalu,” kata dia.
Berdasarkan catatan OPSI, imbal hasil jaminan hari tua atau JHT di 2016 sebesar 7,19 persen, pada 2017 naik menjadi 7,82 persen, pada 2018 turun menjadi 6,26 persen, pada 2019 kembali turun menjadi 6,06 persen. Pada tahun lalu, imbal hasil JHT itu kembali mengalami penurunan di angka 5,63 persen.