Bisnis.com, JAKARTA - Insentif fiskal maupun non fiskal dibutuhkan perusahaan tambang batu bara untuk turut mengembangkan transformasi energi rendah karbon.
Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) menerangkan bahwa pemerintah mendorong sektor batu bara melakukan pengolahan energi tersebut menjadi syngas untuk menghasilkan dimethyl ether (DME).
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menyebut proyek tersebut masih dalam pembicaraan intensif dengan investor. Pasalnya seluruh pihak harus memastikan nilai keekonomian dari bisnis tersebut.
“Dan itu tentu membutuhkan dukungan suport dari pemerintah baik fiskal maupun non fiskal,” katanya akhir pekan lalu.
Proyek hilirisasi batu bara menjadi DME akan dilakukan oleh PT Bukit Asam, Tbk. DME disebut menjadi salah satu energi alternatif sebagai substitusi LPG untuk mengurangi impor. Negara ditaksir dapat menghemat anggaran hingga Rp10 triliun per 1 juta ton gas.
Pada prosesnya, kebutuhan 1 juta ton LPG akan tergantikan dengan produksi 1,4 juta ton DME. Untuk membangun proyek dengan kapasitas 1,4 juta ton DME dibutuhkan investasi tidak kurang dari US$2,1 miliar atau setara Rp29,4 triliun.
Baca Juga
“Jadi yang sangat diperlukan adalah dukungan pemerintah untuk kebijakan agar membuat investasi itu ekonomis. Jadi perlu didorong memang peluang ke situ,” tuturnya.
Dia menilai dukungan pemerintah cukup diperlukan dalam transisi ini. Kendati begitu, perusahaan tambang kini dihadapkan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan pajak karbon.
Menurutnya, beban keuangan baik melalui pajak karbon atau kenaikan tarif royalti malah akan membebani perusahaan.
“Ini yang akan jadi faktor disinsentif nanti bagi pelaku usaha dalam melakukan upaya transisi energi batu bara maupun investasi di EBT. Semua sangat tergantung pemerintah,” terangnya.