Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menuju Presidensi G20, Ini 4 Agenda yang Harus Didorong Indonesia

Indonesia dinilai memiliki peran penting untuk mendorong agenda kepentingan nasional atau internasional dalam presidensi G20 ini. Berikut 4 agenda yang harus didorong.
Presiden Joko Widodo berjalan, di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019)./Istimewa
Presiden Joko Widodo berjalan, di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019)./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia akan memegang Presidensi G20 dimulai pada 1 Desember 2021 sampai dengan 30 November 2022.

Menandai hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerima mandat langsung Presidensi pada KTT G20 atau G20 Leader Summit di Roma Italia pada 30-31 Oktober mendatang.

Untuk itu, Indonesia dinilai memiliki peran penting untuk mendorong agenda kepentingan nasional atau internasional.

Ekonom Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan peran Presidensi G-20 dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan peran Indonesia sebagai pemimpin dari negara berkembang yang menawarkan solusi bagi negara-negara maju. Achmad lalu mengungkap 4 (agenda) yang perlu didorong untuk mencapai tujuan tersebut.

"Setidaknya ada empat agenda kerja untuk Indonesia untuk memanfaatkan Presidensi KTT G20 di tahun 2022 diantaranya adalah Mereda Ketegangan Demi Ketegangan Dunia, Mengembalikan Relevansi G20 Dalam Penanganan Covid-19, Melakukan koherensi terhadap Prinsip Perpajakan Global dan Melakukan Rekomitmen Terhadap Isu Perubahan Iklim dan Inklusi Keuangan," tulis Achmad pada siaran resmi, Senin (20/9/2021).

Secara rinci, pertama, meredakan ketegangan demi ketegangan dunia. Saat ini, Achmad menilai ketegangan demi ketegangan dunia tidak kunjung reda. Penandatanganan perjanjian keamanan trilateral antara Amerika Serikat, Australia, dan Inggris atau AUKUS, menyebabkan Perancis protes terhadap pakta tersebut.

Sebagai respon, Perancis menarik dubesnya dari Australia dan AS. Pasalnya perjanjian AUKUS atau Aliansi AS-Inggris-Australia tersebut telah membatalkan kerjasama Australia-Perancis dalam membangun 12 kekuatan kapal selam nuklir senilai US$37 miliar.

Perancis menuduh AS dan Australia menusuk dari belakang terkait perjualan kapal selam nuklir tersebut. Munculnya AUKUS, tambah Achmad, juga menyebabkan China protes karena dinilai akan menganggu stabilitas keamanan di wilayah perdagangan Asia-Pasifik.

"China layak khawatir karena dengan kecanggihan armada laut dan 12 kapal selam nuklir baru Australia, China tidak lagi dapat mengamankan jalur perdagangannya dengan tenang terutama Laut China Selatan yang terus memanas," jelasnya.

Kedua, mengembalikan relevansi G-20 dalam penanganan Covid-19. Achmad menilai Indonesia perlu mendorong agenda dalam mengatasi kesenjangan penanganan Covid-19 antara negara G20.

Achmad menyebut organisasi G20 tidak memiliki relevansi dalam penanganan Covid-19. Oleh karena itu, ini adalah agenda kerja Indonesia untuk memastikan bahwa organisasi G20 memiliki relevansi tinggi dalam penanganan pandemi.

Ketiga, melakukan koherensi terhadap prinsip perpajakan global. Dengan semakin banyak integrasi perusahaan global khususnya perusahan digital, banyak negara menerapkan pajak yang berbeda-beda yang akhirnya dinilai menerapkan pajak diskriminasi terhadap perusahaan digital yang umumnya berpusat di AS.

Contohnya, Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam pertemuan di Brussel Juli 2021 lalu menekan para Menteri Keuangan di Uni Eropa agar mempertimbangkan kembali rencana mengusulkan pungutan digital terhadap perusahaan AS. Tentunya, AS dan negara maju lainnya sebagai bagian dari anggota G20 ingin pajak untuk perusahaan teknologi yang berbasis di negaranya tidak dikenakan pajak berganda di negara berkembang anggota G20.

Namun, negara berkembang termasuk Indonesia melihat pajak digital diperlukan untuk memperkuat pendapatan negaranya. Hal itu menandakan adanya perbedaan prinsip perpajakan global di antara negara anggota.

"Indonesia diharapkan bisa melakukan koherensi terhadap prinsip-prinsip perpajakan global sehingga memiliki kesetaraan perpajakan yang lebih fair dan adil," jelasnya.

Keempat, melakukan pembentukan komitmen kembali terhadap isu perubahan iklim dan inklusi keuangan. Adanya peristiwa seperti kebakaran hebat di California, Turki, Australia dan negara lain pada 2021 seharusnya menjadi alarm bagi negara G20 untuk berkerja sama lebih serius lagi dalam mencari solusi untuk perubahan iklim global.

"Bila satu negara tidak bersepakat mengurangi [kontribusi] karbonnya maka perubahan iklim yang lebih buruk tidak dapat dihindari juga. Kerja sama terkait perubahan iklim tidak bisa dilakukan parsial [namun] kolektif, kompak dan komitmen harus disampaikan dalam satu voice yang sama. Ini tantangannya," tambahnya.

Inklusi keuangan, lanjut Achmad, juga menjadi isu yang harus dicari solusinya seiring dengan semakin tingginya digitalisasi. Pasalnya, masyarakat dunia yang literasi digitalnya rendah tentu tidak dapat menikmati kemajuan digitalisasi saat ini.

Apabila literasi tersebut tidak ditingkatkan secara serius maka akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan yang sangat serius di tingkat global. Indonesia dinilai harus mampu menawarkan agenda kerja inklusi keuangan yang dapat diterapkan oleh sebesar-besarnya masyarakat marginal.

Secara kesimpulan, Indonesia seharusnya menjadi katalis yang konstruktif dalam memecahkan ketegangan dunia dan mengatasi kesenjangan saat ini. Khususnya polarisasi antara China dan AS, menurut Achmad tidak boleh memiliki efek destruktif bagi tatanan ekonomi negara lain.

"Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam membuat aturan main kompetisi ekonomi AS dan China yang lebih sehat sehingga negara-negara lain yang mayoritas tidak terkena dampak ekor (tail effects) dari kompetisi tersebut," terangnya.

Dalam melaksanakan Presidensi KTT G20 tahun 2022, Indonesia dilihat perlu belajar dari pertemuan IMF-World Bank 2018 lalu, di mana Indonesia tuan rumahnya. Achmad menilai Indonesia sukses dalam melaksanakan pertemuan IMF-World Bank tersebut namun belum optimal menawarkan solusi-solusi keuangan internasional yang ada.

"Indonesia harus naik kelas lagi dari sukses menjadi event organizer penyelenggara KTT G20 menjadi sukses menjadi aktor aktif yang menguraikan dan menyelesaikan persoalan-persoalan dunia," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper