Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menargetkan produksi mobil listrik di Indonesia akan dimulai Mei 2022. Nantinya, 80 persen produksi mobil listrik tersebut akan diekspor.
Target tersebut dibidik setelah pemerintah memulai groundbreaking pabrik baterai kendaraan di Karawang, Jawa Barat. Proyek senilai US$1,1 miliar itu merupakan kerja sama LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group dengan PT Industri Baterai Indonesia.
“Untuk [produksi] mobil listrik Mei 2022, Indonesia ini bukan baru akan ya. 2022 bulan Mei kita sudah produksi mobil listrik buatan Hyundai,” katanya saat konferensi pers, Jumat (17/9/2021).
Proyek pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik itu merupakan bagian dari rencana investasi Korea Selatan senilai US$9,8 miliar atau setara Rp142 triliun.
Dia menuturkan bahwa perusahaan LG dan Hyundai telah memiliki pasar yang cukup luas di dunia internasional. Sebab itu, akses pasar untuk kendaraan listrik pun tidak perlu diragukan lagi.
“[Tahap] awal ini, 80 persen [kendaraan listrik yang diproduksi akan] ekspor. Market mereka yang urus, makanya di sini kelihaian kita memainkan peran. Produk yang kita punya pasti akan ekspor,” terangnya.
Adapun proses pengolahan nikel termasuk smelter akan dibangun di Maluku Utara, di lokasi yang dekat dengan bahan baku. Selain itu, pemerintah juga akan menyiapkan Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang sebagai lokasi recycle, cathode, dan precursor.
Infrastruktur dasar KIT Batang telah selesai sejak Mei 2021, tetapi pembangunan fasilitas recycle, cathode, dan precursor akan dimulai pada akhir tahun ini.
Sementara itu, dalam proses produksi kendaraan listrik, Bahlil menyebut bahwa Indonesia memiliki sebagian besar bahan baku di dalam negeri. Hanya litium yang memiliki porsi 10 persen dari konstruksi kendaraan listrik yang masih impor.
Setelah pembangunan tersebut, Kementerian ESDM juga menargetkan Industri Baterai Indonesia (IBI) dapat menjadikan Indonesia sebagai pemain kendaraan listrik dunia pada 2027.
“Kalau semuanya selesai, IBI bisa menyumbangkan sekitar US$25 miliar untuk GDP, bisa menyerap 23.000 orang [tenaga kerja], dan untuk trade balance sekitar US$9 miliar. Ini kalau sukses,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana belum lama ini.