Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN terhadap barang kebutuhan pokok berpotensi mengerek tingkat kemiskinan dan memengaruhi inflasi. Efek kebijakan tersebut dinilai perlu dihindari, terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef Riza Annisa Pujrama menjelaskan bahwa terdapat perluasan sektor atas barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) dalam RUU KUP. Salah satu perubahan adalah penghapusan barang kebutuhan pokok dari pengecualian pengenaan PPN.
Riza mengemukakan bahwa pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok berpotensi berdampak terhadap kenaikan harga barang-barang tersebut. Sejauh ini belum terdapat penjelasan rinci mengenai ketentuan PPN terhadap sebelas jenis barang kebutuhan pokok, sehingga dikhawatirkan harganya merangkak naik.
"Batas garis kemiskinan dapat terkerek naik jika [pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok] tidak dilakukan terhati-hati," ujar Riza pada Selasa (14/9/2021).
Sebelumnya pemerintah berulang kali menyampaikan bahwa PPN hanya dikenakan untuk kebutuhan pokok dengan harga tinggi, atau yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Namun, Indef menilai bahwa hal tersebut belum dapat mendefinisikan dengan jelas mana barang yang dikenakan PPN atau tidak.
Selain itu, menurut Riza, pemilihan barang konsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi tidak dapat dipandang sederhana karena banyak jenis barang yang dikonsumsi oleh kelas atas tapi juga lazim dibeli masyarakat di kelas lainnya.
Baca Juga
Dia mengkhawatirkan mekanisme yang tidak jelas dapat turut mengerek harga barang yang tidak dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.
"Karena mereka [masyarakat berpenghasilan tinggi] melakukan pembelian bahan pokok tidak hanya melalui gerai-gerai tertentu," ujarnya.
Dia pun menjelaskan bahwa dalam RUU KUP terdapat tiga mekanisme pengenaan PPN bagi kebutuhan pokok, yakni pengenaan PPN di bawah tarif standar, tidak ada pengenaan PPN, atau pemberian subsidi bagi masyarakat tidak mampu. Indef menilai bahwa jika mekanisme ketiga dipilih, terdapat potensi kendala pemberian subsidi.
Riza menambahkan Indonesia masih terkendala oleh akurasi data, sehingga pemberian subsidi bagi masyarakat tidak mampu bisa menjadi masalah baru. Hal itu dapat berdampak buruk jika harga bahan-bahan pokok tetap meningkat.
"Kita tidak ingin kenaikan PPN tidak memberikan benefit seperti yang diharapkan, tapi justru malah memberikan dampak buruk bagi ekonomi," ujarnya.
Direktur Riset Indef Rusli Abdullah menjelaskan bahwa berdasarkan studi bertajuk Analisis Rantai Distribusi Komoditas Padi dan Beras di Kabupaten Pati, terdapat lima tahapan tata niaga di pedesaan. Distribusi padi berawal dari petani, lalu ke pedagang tengkulak, penggilingan padi, lalu ke pedagang pengecer, baru kemudian ke konsumen.
Menurutnya, tahapan itu bisa menjadi lebih panjang di perkotaan. Tanpa adanya kebijakan yang jelas mengenai pengenaan PPN bagi, harga barang kebutuhan pokok bisa merangkak naik, terlebih di perkotaan yang tahapan tata niaganya cukup panjang.
"Saya curiga di Jakarta lebih panjang lagi, berarti masyarakat miskin kota akan dapat harga beras lebih mahal lagi, sehingga mengganggu kesejahteraan sosial," ujar Rusli.