Bisnis.com, JAKARTA - LPEM FEB UI memperkirakan Indonesia berpotensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020 hingga 2025.
Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah menyampaikan potensi kehilangan tersebut berasal dari pelaksanaan kebijakan B20. Sementara, untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, diperkirakan mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama.
“Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (13/9/2021).
Alin menjelaskan, pada Juli 2020, data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai US$2,7 miliar atau setara dengan Rp 38,4 triliun. Sementara, untuk produk turunannya mencapai US$6,2 miliar atau setara dengan Rp 88,3 triliun.
Kebijakan biodiesel yang agresif menurutnya akan mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri, sehingga dapat berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO.
Saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp79,2 trilliun.
Baca Juga
Namun, Alin mengatakan penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp48,9 triliun.
Selain itu, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp112,8 triliun akibat implementasi B30. Namun, perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit.
Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan netto dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada 2020 hingga 2025 adalah sebesar Rp44 triliun, artinya penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah.
“Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama. Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelasnya.
Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan pun sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia.
“Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin.