Bisnis.com, JAKARTA – Gas bumi memegang peranan penting dalam transisi penggunaan energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT). Gas dinilai bisa menjadi jembatan dalam penggunaan energi yang lebih bersih.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016–2019 Arcandra Tahar mengatakan bahwa kebijakan sejumlah negara untuk beralih ke EBT harus dicermati dengan baik.
Apalagi, saat ini sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa sedang berupaya memenuhi zero carbon di 2050.
Dia menuturkan, Amerika Serikat bersama dengan Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan sudah memiliki komitmen untuk mencapai nol emisi pada 2050, atau sekitar 29 tahun lagi.
Sebagai usaha mewujudkan komitmen itu, Uni Eropa dan beberapa negara tersebut sudah mulai fokus pada pengembangan energi terbarukan.
Untuk itu, Arcandra menuturkan, dalam kurun waktu 30 tahun ke depan merupakan masa transisi yang sangat penting untuk dipersiapkan.
Menurutnya, apabila perusahaan migas mengurangi eksplorasi dan produksi migasnya, maka hal tersebut akan menjadi tantangan baru. Pasalnya, untuk menggantikan energi fosil dengan energi terbarukan tidaklah semudah yang dibayangkan.
Proyeksi OPEC, kata dia, 2040 kebutuhan minyak dunia sampai 2040 akan bertambah sekitar 20 juta barel per hari dari kebutuhan pada 2020 yang sebanyak 90 juta barel per hari.
Sementara itu, kehadiran Electric Vehicle (EV) juga diproyeksikan hanya akan mengonversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 6 juta barel per hari di seluruh dunia pada 2040.
“Sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, harga kompetitif dan sumbernya masih sangat besar, gas bumi seharusnya menjadi bagian penting dalam proses transisi energi di Indonesia. Proses itu tentunya tidak mudah,” katanya seperti dikutip dalam keterangan resminya, Senin (13/9/2021).
Sebelumnya, Arcandra mengatakan bahwa pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dinilai tidak akan menyusutkan konsumsi gas bumi. Penggunaan PLTS atap tidak akan berjalan sendiri karena sifatnya yang intermittent.
“PLTS tidak bisa berdiri sendiri atau akan mahal, kalau berdiri sendiri tanpa bantuan baterai atau sumber energi lain,” jelasnya.
Lebih lanjut, Arcandra menjelaskan bahwa gas bumi dinilai dapat diandalkan untuk menyokong PLTS atap pada saat memiliki keterbatasan karena kondisi cuaca.
Untuk itu, kombinasi antara PLTS atap dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dinilai akan sangat menguntungkan untuk dikembangkan, mengingat harganya yang lebih murah pada saat ini dibandingkan dengan mengandalkan baterai.