Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mendapatkan fasilitas Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR) dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 4,46 miliar atau setara dengan US$6,31 miliar.
Penarikan SDR tersebut mendorong cadangan devisa ke posisi US$144,8 miliar, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.
SDR merupakan instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh IMF dan dapat digunakan untuk transaksi keuangan negara-negara anggotanya.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono menyampaikan IMF menambah alokasi SDR dan mendistribusikannya kepada seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, secara proporsional sesuai kuota masing-masing.
Hal itu ditujukan untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, membangun kepercayaan pelaku ekonomi, dan juga untuk memperkuat cadangan devisa global.
“Alokasi SDR tersebut didistribusikan kepada negara-negara anggota IMF tanpa biaya,” katanya dalam siaran pers, Selasa (7/9/2021).
Baca Juga
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM-FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky mengatakan penarikan fasilitas SDR oleh pemerintah tersebut merupakan langkah yang baik di tengah kebutuhan anggaran yang besar untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Apalagi, tekanan dari sisi eksternal juga meningkat saat ini sejalan dengan akan diterapkannya kebijakan penarikan stimulus moneter atau tapering oleh the Fed, Bank Sentral Amerika Serikat, yang diperkirakan lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
“Kalau lihat di Agustus, memang kita belum tahu Covid-19 akan separah apa. Ternyata di Agustus tambah parah meski angka Covid-19 sudah mulai menurun. Kita juga belum bisa melihat Covid-19 akan selesai dalam waktu yang singkat. Jadi memang kebutuhan pendanaan yang besar sangat diperlukan untuk bergaja-jaga,” katanya kepada Bisnis, Selasa (7/9/2021).
Dari sisi eksternal, Riefky menyampaikan tapering off oleh the Fed yang diperkirakan lebih cepat, akan mengakibatkan outflow yang akhirnya akan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah.
Kondisi ini menyebabkan rupiah terdepresiasi, sehingga akses pembiayaan untuk penanganan pandemi akan semakin mahal. Di sisi lain, program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional harus tetap dijalankan.
“Tujuannya apa? Jika tapering off terjadi, capital outflow terjadi, BI bisa meng-counter agar depresiasi rupiah itu tidak terlalu deras,” jelasnya.
Di samping itu, Riefky mengatakan pemerintah juga harus mengembalikan posisi defisit APBN ke level 3 persen pada 2023.
Dia menilai penarikan SDR tanpa dikenakan bunga justru akan mengurangi beban pemerintah, khususnya pada biaya bunga pinjaman. Pasalnya, jika pemerintah menerbitkan surat berharga negara (SBN) dengan tingkat suku bunga pasar, justru akan menambah beban pembayaran bunga di APBN.
“Berhubung SDR tanpa biaya, saya rasa ini langkah yang baik yang diambil pemerintah dan ini sejalan dengan langkah pemerintah yang melanjutkan burden sharing dengan BI untuk mendanai program-program yang akan dilakukan kedepannya,” kata Riefky.
Dia menambahkan, yang perlu diwaspadai ke depan adalah pengawasan dari penggunaan dana tersebut, apakah akan efektif, efisien, dan tepat sasaran.
“Kita tidak mau melihat penggunaan dana ini justru terjadi kebocoran atau dialokasikan ke pos yang tidak sejalan dengan proses pemulihan ekonomi. Dari sisi pendanaan saya rasa ini langkah yang tepat, tinggal next step bagaimana dana yang terkumpul bisa digunakan dengan sebaik mungkin,” jelasnya.