Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengingatkan agar pendanaan pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kini terus membengkak dari semula US$5,573 miliar menjadi US$7,97 miliar ekuivalen Rp113 triliun tidak menggunakan Penyertaan Modal Negara (PMN).
"Mengingat ini proyek swasta murni, maka jangan sampai nanti ada PMN yang masuk ke pembangunan KA Cepat tersebut, sebab kalau sampai itu terjadi maka akan menjadi preseden buruk bagi pembangunan infrastruktur lainnya," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (2/9/2021).
Menurutnya, bila permasalahan biaya ini ditutupi dengan PMN, dikhawatirkan setiap badan usaha menginisiasi pembangunan infrastruktur, lalu setelah mentok akan meminta PMN.
"Hati-hati bagi pejabat yang akan memperjuangkan PMN untuk KA cepat Jakarta - Bandung karena itu dapat berdampak pada masuk ke penjara," tegasnya.
Menyangkut persoalan pendanaan ini, Dharmaningtyas menilai memang sebaiknya dilakukan audit menyeluruh. Dengan begitu, akan diketahui apakah pembengkakan biaya ini terjadi karena perhitungan yang meleset atau ada faktor lain.
"Sejak awal pembangunan KA Cepat itu kan menimbulkan kontroversi. Untuk suatu suatu proyek besar terlalu terburu-buru dicanangkan, belum dikaji betul berapa kebutuhan dananya dan dari mana sumber dananya, proyek sudah jalan," imbuh dia.
Baca Juga
Sementara itu PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mendukung usulan Komisi VI DPR untuk dilakukan audit investigatif atas perkara pendanaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu.
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo menyebut pihaknya sudah membicarakan opsi tersebut dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Selain itu, Didiek juga mengusulkan legislator menjadwalkan pertemuan secara tertutup agar persoalan bisa dikaji lebih mendalam. Pasalnya, proyek itu mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) yang diperkirakan mencapai USD4,9 miliar atau setara Rp69 triliun hingga komunikasi yang kurang baik antara konsorsium China dan Indonesia.
"Kami dari KAI mendukung jika diberikan kesempatan secara tertutup sehingga kami pun bisa mengundang konsultan secara faktual apa yang terjadi, apa yang sudah terjadi dan apa yang dilakukan ke depan. Karena ada beberapa hal yang tidak perlu diketahui oleh publik," ujar Didiek.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI Salusra Wijaya mengatakan manajemen PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) telah melakukan efisiensi, pemangkasan biaya, hingga efisiensi pengelolaan TPOD dan pengelolaan stasiun untuk menekan membengkaknya biaya proyek tersebut.
Dia menuturkan, budget awal proyek sepur kilat itu sebenarnya adalah US$6,07 miliar. Rinciannya, sekitar US$4,8 miliar adalah biaya konstruksi atau EPC. Sementara itu, US$1,3 miliar adalah biaya non-EPC.
Namun setelah dihitung pada November 2020, biaya tersebut ternyata membesar menjadi US$8,6 miliar. Selanjutnya, berdasarkan kajian yang melibatkan konsultan, biaya proyek itu kembali naik lantaran adanya perubahan biaya dan harga, serta adanya penundaan pembebasan lahan.
"Perkiraan dari konsultan PSBI berada di dalam skenario low and high. Skenario rendah di US$9,9 miliar dan tinggi di US$11 miliar. Artinya, cost overrun yang terjadi dengan skenario tersebut adalah sekitar US$3,8 miliar hingga US$4,9 miliar," imbuhnya.
Oleh karenanya dia menyebut manajemen PT KCIC yang dibantu konsultan kemudian melakukan efisiensi sehingga bisa menekan pembengkakan biaya tersebut sehingga estimasi cost overrun menjadi US$1,9 miliar.
Dari besaran tersebut, lanjutnya, porsi yang perlu ditanggung Indonesia diperkirakan sebesar Rp4,1 triliun dan diusulkan dipenuhi dengan PMN dari pemerintah.