Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis perantara perdagangan atau broker properti di Tanah Air ternyata masih moncer di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Bahkan, beberapa perusahaan yang menjalankan bisnis tersebut mencatatkan kenaikan pendapatan berkali lipat selama setahun terakhir.
Direktur Utama PT ERA Indonesia Darmadi Darmawangsa mengatakan bahwa pihaknya berhasil mencatatkan kenaikan penjualan hingga 104 persen sepanjang Januari–Juli 2021. Penjualan tersebut didominasi oleh rumah tapak bekas pakai yang dijual dengan harga lebih dari Rp1 miliar.
Tentunya, pembeli dari rumah-rumah tersebut bukanlah kelompok yang membeli rumah untuk dijadikan tempat tinggal atau membeli rumah pertama. Tujuan mereka membeli rumah lebih kepada meningkatkan prestise atau berinvestasi.
“Untuk kalangan tertentu, rumah ini tidak bisa diartikan sebagai kebutuhan primer saja. Ada kalangan yang membeli rumah sebagai kebutuhan sekunder atau tersier. Mereka yang selama pandemi Covid-19 bisnisnya naik justru membeli rumah di lokasi elite. Tentunya, rumah-rumah di lokasi itu adalah rumah second yang penjualannya dilakukan lewat broker,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Lebih lanjut, Darmadi menjelaskan, kenaikan penjualan yang pihaknya catatkan juga tak terlepas dari adanya penurunan harga akibat tingginya penawaran.
Dia tak menampik bahwa banyak orang yang memutuskan untuk melepas asetnya berupa properti hunian, baik rumah tapak maupun apartemen selama setahun terakhir dengan sejumlah alasan.
“Waktu sebelum pandemi sudah ada orang yang ingin beli, tetapi belum mampu atau menganggap harganya tak cocok. Pembeli buka harga Rp30 miliar misalnya, tetapi dia mampunya hanya Rp20 miliar. Waktu pandemi ini banyak yang butuh uang, ingin cepat terjual akhirnya dilepas dengan harga lebih murah, mereka yang belum mampu ini akhirnya membeli,” jelasnya.
Walaupun pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir, Darmadi optimistis pasar hunian sekunder atau penjualan hunian bekas pakai masih akan bergairah.
Berkaca pada 2008, penjualan properti kelas menengah ke atas di Amerika Serikat (AS), khususnya hunian bekas pakai justru meningkat pascakrisis yang diawali oleh ambruknya Lehman Brothers Bank itu.
“Karena pasar sekunder ini beda dengan pasar primer atau properti yang dijual developer. Kalau mereka kan ekonomi turun penjualan ikut turun. Kalau [pasar] sekunder ini kalangan tertentu dan unit yang ada itu terbatas, tentunya mereka yang mencari belum tentu bisa dapat semua,” tuturnya.
Penurunan harga hunian bekas pakai yang terjadi saat ini memang berhasil meningkatkan penjualan. Namun, Darmadi tidak ingin hal tersebut terus-terusan terjadi karena nantinya malah membuat masyarakat enggan berinvestasi properti.
“Jangan sampai seperti itu, untuk jangka panjangnya itu jelas bukan hal yang baik. Orang jadi enggan berinvestasi di [sektor] properti,” ujarnya.
BERHARAP INSENTIF
Darmadi berharap, berbagai insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah mampu memulihkan kembali sektor properti.
Khusus untuk properti sekunder, dia berharap keringanan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan mengembalikan minat masyarakat membeli berinvestasi di sektor properti, terutama di pasar sekunder.
Untuk diketahui, Pemerintah DKI Jakarta memberikan keringanan BPHTB kepada wajib pajak orang pribadi untuk perolehan pertama kali atas objek berupa rumah atau rumah susun dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) bernilai lebih dari Rp2 miliar hingga Rp3 miliar.
Keringanan sebesar 50 persen diberikan kepada wajib pajak yang melakukan pembayaran BPHTB di Agustus 2021 dan 25 persen kepada yang melakukan pembayaran pada September—Oktober 2021. Lalu, Keringanan sebesar 10 persen diberikan kepada wajib pajak yang melakukan pembayaran BPHTB pada November—Desember 2021.
Sementara itu, Direktur PT Sagotra Usaha (Century 21 Indonesia) Meiko Handoyo mengatakan bahwa pihaknya mencatatkan peningkatan pendapatan komisi transaksi hingga 20 persen pada paruh pertama tahun ini.
Properti yang ditransaksikan sebagian besar tentunya adalah properti bekas pakai, terutama rumah tapak seperti broker properti pada umumnya.
Meiko menilai, peningkatan tersebut tak terlepas dari keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 lewat program vaksinasi sejak awal 2021.
Selain itu, berbagai stimulus yang diberikan selama setahun terakhir seperti kebijakan uang muka 0 persen, insentif Pajak Pertambahan nilai [PPN], dan suku bunga acuan rendah juga menjadi katalis bagi pertumbuhan industri properti di Tanah Air, tak terkecuali bisnis broker properti.
“Apa yang terjadi di AS mungkin akan terjadi di Indonesia. Ketika herd immunity di sana belum terbentuk, terjadi peningkatan [penjualan properti] double digit. Alasannya tentu saja rendahnya tingkat suku bunga acuan dari The Fed dan meningkatnya saving masyarakat. Saving itu tentunya meningkatkan kemampuan membayar uang muka pembelian rumah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Meiko mengatakan bahwa hal tersebut juga membuat banyak pemilik menunggu waktu untuk menjual properti milik mereka, terutama rumah tapak yang lokasinya menjadi incaran. Mereka baru akan melepas aset miliknya apabila harganya sudah melambung tinggi.
“Hukum supply and demand, saat ini terjadi kelangkaan supply karena beberapa investor atau pemilik rumah menahan penjualan. Pengaruh dari faktor-faktor [pendukung] itu sangat mungkin terjadi. Bahkan sebagian sudah terjadi di Indonesia. Ini hanya persoalan timing,” tegasnya.
Walaupun demikian, Meiko menegaskan bahwa peningkatan pendapatan yang dialami Century 21 tak bisa terjadi begitu saja tanpa adanya inovasi, terutama dalam hal pemasaran.
Menurutnya, mengoptimalkan pemanfaatan platform media sosial dan konferensi video menjadi hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh broker properti.