Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan aplikasi GoTo (Gojek-Tokopedia) dan Indika Energy meminta kolaborasi dari semua pemangku kepentingan termasuk insentif dari pemerintah untuk mewujudkan target emisi karbon nol atau zero emission.
Group Head of Sustainability GoTo Tanah Sullivan menyebut meski baru pada tahap awal atau piloting tetapi perusahaan telah mulai menjalankan pengurangan jejak karbon.
Dia menjelaskan pada aplikasi Gojek terdapat fitur GoGreener sehingga para pengguna jasa angkutan berbasis aplikasi itu bisa mengetahui seberapa banyak tingkat emisi karbon.
Dia menerangkan fitur ini merupakan yang pertama di perusahaan aplikasi di dunia. GoGreener Carbon Offset ini mengajak pengguna jasa angkutan dari Goto untuk menyeimbangkan jejak karbon mereka atau carbon offset.
Lalu, bagaimana mengompensasi carbon offset itu dengan menanam pohon yang mereka sumbangkan.
"Perlu adanya insentif juga baik yang bersifat fiskal, maupun nonfiskal khususnya moneter juga sangat dibutuhkan. Pasalnya, untuk mewujudkan langkah menuju era zero emission ini dibutuhkan investasi yang sangat besar," ujarnya melalui siaran pers, Senin (23/8/2021).
Baca Juga
Bahkan, langkah GoTo tak berhenti sampai di sini. Perusahaan juga berupaya untuk secara berangsur menggunakan sarana angkutan transportasi yang rumah lingkungan. Dengan menggunakan skuter dan sepeda listrik, salah satunya.
Insiasi dan langkah nyata yang telah dilakukan oleh perusahaan sektor swasta ini perlu mendapatkan sambutan dan dukungan oleh pihak-pihak lain. Dengan demikian, gerakan untuk mewujudkan Zero Emission juga semakin kuat.
Vice President Director Indika Energy & Group ECO Indika Energy Azis Armand mengatakan sejak tahun perusahaannya telah melakukan diverssifikasi usaha ke bidang usaha nonbatubara. Divestasi usaha yang dipilih sejak tahun 2018 lalu antara lain ke pertambangan emas dan lainnya.
“Sebelumnya, sejak 2005 sampai dengan tahun 2017, sebesar 75 persen pendapatan perusahaan berasal dari bisnis pertambangan batubara. Di tahun setelahnya pada 2018 kami melakukan divestasi usaha ke bidang-bidang nonbatubara. Karena kami menyadari, bahwa zero emission merupakan sebuah keniscayaan. Jadi, mau tidak mau, era itu akan terjadi,” tuturnya.
Selain itu, kata Azis, dalam operasional internal perusahaan kendaraan-kendaraan yang digunakan sebagai sarana angkutan karyawan maupun barang menggunakan bahan bakar biofuel atau sumber energi ramah lingkungan lainnya.
Meski demikian, tidak dipungkiri di tambang-tambang yang dikerjakan oleh para kontraktor (perusahaan ketiga yang mengerjakan proyek dari Indika) masih banyak yang menggunakan sumber energi dari bahan bakar fosil.
“Karena kalau kita samakan dengan apa yang terjadi di internal kami dengan menggunakan kendaraan berbahan bakar biofuel atau sumber energi bersih lainnya akan mengubah kontrak, sehingga tidak mudah. Tetapi, yang pasti, komitmen kami adalah bagaimana menyiapkan diri di era zero emission nanti,” papar Azis.
Dia juga merasa dibutuhkan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan. Baik di antara pelaku usaha di sektor swasta, masyarakat, hingga pemerintah untuk mewujudkan hal ini.
Insentif – baik yang bersifat fiskal, maupun non fiskal khususnya moneter – juga sangat dibutuhkan. Pasalnya, untuk mewujudkan langkah menuju era zero emission ini dibutuhkan investasi yang sangat besar.
“Kemudian perlu terus dilakukan edukasi, untuk membangun awareness di masyarakat. Meski, di kalangan milenial saat ini awareness soal lingkungan jauh lebih baik dibanding generasi-generasi sebelumnya,” kata Azis.
Direktur Direktorat Lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengaku pentingnya kolaborasi tersebut. Dia juga menegaskan karena era zero emission merupakan sebuah keniscayaan maka semua pihak mau tidak mau, suka tidak suka harus mempersiapkan diri.
Soal stimulus atau insentif, Medrilzam mengatakan insentif tidaklah harus berupa moneter, insentif bisa berupa dukungan yang lain. Hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja yang memangkas berbagai prosedur perizinan usaha yang tidak efisien.
Sementara soal tenggat Zero Emisi Indonesia yang dipatok pemerintah pada 2060, Medrizal menyebutnya sebagai target yang moderat. Sebab, jika dipatok pada 2070 akan terkesan terlambat, tetapi jika terlalu maju, misalnya pada 2045 akan terlalu tergesa-gesa sehingga kemungkinan melkeset akan terjadi.
Tetapi yang tidak kalah penting dalam penetapan target ini adalah pertimbangan soal dampak ke sektor usaha.
“Kalau kita terlalu frontal memberlakukan zero emission secara tiba-tiba, sementara masa kontrak bisnis sektor-sektor tertentu yang tidak sesuai dengan zero emission itu masih terjadi, kita bisa digugat. Penyelesaiannya ke pengadilan internasional, dan kita harus bayar ganti rugi. Jadi, pada 2060, kita punya waktu untuk melakukan transisi,”