Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021) pada 13 Agustus 2021.
PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan PFB ini merupakan milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko. P
"FB ini khas Indonesia dengan model gotong royong pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan swasta. Tidak banyak negara yang memiliki institusi PFB dan melakukan ini dengan baik," ujar Febrio dalam siaran pers, Senin (233/08/2021).
Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana sehingga perlu memiliki sistem penanggulangan bencana yang baik. Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam, antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Saat ini Indonesia bahkan menghadapi bencana non-alam akibat pandemi COVID-19. Dampak dari berbagai bencana tersebut sangat signifikan dan multidimensi.
Baca Juga
Proses penanganan bencana di Indonesia salah satunya mengalami kendala anggaran.
Akibat berbagai jenis dan skala bencana, khususnya bencana alam, dari hasil kajian Kementerian Keuangan (2020) rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun.
Sebagai contoh, bencana alam besar seperti gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada September 2018, mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi sekitar Rp18,5 triliun.
Namun, Dana Cadangan Bencana di dalam APBN untuk mendanai kegiatan tanggap darurat dan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi kepada Pemerintah Daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu sekitar Rp5-10 triliun per tahun sejak 2004.
Febrio mengatakan PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan mempercepat proses penanganan bencana. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp7,3 triliun.
"Dengan demikian, PFB akan menambah kapasitas pendanaan bencana pemerintah dari semula hanya terdiri dari dua sumber utama yaitu APBN dan APBD”, tutur Febrio.
Dana kelolaan ini diharapkan akan terus berkembang dari tahun ke tahun, melalui kegiatan pengumpulan maupun pengembangan dana. Dia menuturkan PFB merupakan bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI).
Strategi DRFI memungkinkan Pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga, melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.
PFB adalah instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang merupakan skema pengumpulan dana dari berbagai sumber, yakni dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.
Dikelola Secara Otonom
PFB yang dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan juga merupakan milestones tersendiri. “Bentuk BLU ini adalah ciri khas Indonesia dengan model quasi government dan berbeda dengan pengelolaan PFB negara lain’, ujar Febrio.
Dengan menggunakan prinsip kerja BLU yang berasaskan praktik bisnis yang sehat termasuk memiliki rencana bisnis anggaran dan standar pelayanan minimal, Febrio mengatakan PFB tidak hanya bisa memobilisasi dana dari berbagai sumber seperti alokasi APBN; hibah Pemerintah Daerah, mitra pembangunan, swasta dan masyarakat; trust fund; dan filantrofi, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun tersebut untuk meningkatkan kesiapan pemerintah, baik pada tahap prabencana, darurat bencana, maupun pascabencana, termasuk transfer risiko. Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh satker pemerintah biasa.
Dengan karakteristik bisnis tanpa mengutamakan keuntungan, PFB juga diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan membangun kembali dengan lebih baik dengan fokus melindungi masyarakat paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan.
“BLU pengelola PFB diantaranya dapat memberikan fasilitas pendanaan bergulir yang sangat murah untuk UMKM terdampak bencana, selain memberikan bantuan tunai”, tambah Febrio
PFB juga meningkatkan kapasitas pendanaan untuk kegiatan transfer risiko dalam rangka mengurangi kerugian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat bencana, yang semula didanai oleh APBN dan APBD saja. Hal ini terkait dengan peran PFB yang memfasilitasi pembelian premi asuransi perlindungan aset pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, dengan memanfaatkan hasil pengelolaan dana (investment proceeds).
“Dalam 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung/bangunan milik Kementerian/Lembaga dan bergotong royong untuk co-financing dengan Pemerintah Daerah untuk pengasuransian aset daerah. Sehingga, nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan”, ujar Febrio.
Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat akan bersinergi dalam operasionalisasi PFB, mulai dari pengusulan pendanaan sampai dengan penyaluran dana PFB agar lebih tepat waktu dan sasaran.
Dia menuturkan PFB akan dikelola secara kredibel untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Indonesia dan internasional.
Dengan meningkatnya kepercayaan ini, PFB tidak hanya akan menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana, melainkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya. BKF akan terus mengawal guna memastikan terwujudnya hal tersebut.