Bisnis.com, JAKARTA – Nilai rupiah yang berisiko terimbas kebijakan tapering off Amerika Serikat hampir pasti turut berdampak pada aktivitas produksi industri di dalam negeri.
Risiko ini menyebabkan pelaku industri harus menyiapkan modal lebih besar untuk produksi jika bahan baku yang diperlukan berasal dari luar negeri.
“Risiko tapering off terhadap kenaikan bahan baku sangat ada dan akan sangat menyulitkan pelaku usaha nasional bila terjadi. Ini bukan hanya masalah kehilangan daya saing ekspor, tetapi juga pada masalah pembiayaan operasional,” kata Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani, Jumat (20/8/2021).
Shinta menjelaskan pelaku usaha sudah merasakan kenaikan harga bahan baku dan penolong, imbas dari disrupsi pandemi terhadap kelancaran pasokan dan logistik. Jika situasi ini ditambah dengan pelemahan nilai rupiah, pelaku usaha akan makin terbebani.
“Terutama di sisi manufaktur untuk produksi karena saat ini pun pelaku usaha masih membukukan kerugian operasi karena kontraksi permintaan pasar,” tambahnya.
Karena itu, dia berharap pemerintah dapat mengambil langkah intervensi kebijakan agar nilai tukar bisa tetap stabil demi mendukung pemulihan. Dia memperkirakan impor akan makin tinggi jika pemulihan sesuai harapan.
Baca Juga
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Shinta memperkirakan dampak tapering off tidak akan seburuk 2013. Pelaku usaha melihat bahwa Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan lebih proaktif dalam menyiapkan antisipasi.
“Karena itu kami tidak terlalu khawatir pada saat ini. Kami yakin pemerintah sudah siap untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan agar nilai tukar bisa tetap stabil meskipun terjadi tapering nantinya,” kata dia.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengatakan pelaku usaha belum menyiapkan antisipasi. Dia mengatakan fluktuasi nilai tukar adalah hal yang lumrah di tengah ketidakpastian pandemi.
“Importir yang sudah membuat nota kesepahaman dengan harga yang sudah ditetapkan akan langsung mengeksekusi. Sementara yang belum membuat kesepakatan pembelian akan menghitung ulang apakah masih mungkin pembelian dilakukan dengan nilai baru,” kata Subandi.
Dia menjelaskan bahwa nilai tukar yang terdepresiasi terlalu dalam bakal mengganggu harga jual produk. Dalam situasi tersebut, produsen biasanya akan meninjau ulang pembelian atau memilih mempersempit margin.
“Opsi terakhir adalah menaikkan harga jika margin yang sudah dipersempit belum menutup biaya produksi yang naik akibat kenaikan harga,” katanya.