Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah akademisi menilai pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di dalam negeri belum memperhatikan perkembangan pasar dan perbaikan ekosistem energi baru terbarukan atau EBT.
Yayan Satyakti, Dosen Ekonomi Energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa ada beberapa catatan yang harus dipenuhi pemerintah dalam mengembangkan PLTS atap di dalam negeri.
Pertama, pemerintah harus memastikan permintaan dan kemauan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap dengan teknologi tinggi. Pasalnya, hanya sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memanfaatkan PLTS atap dengan teknologi tinggi, sehingga tujuan investasi dan ekonomi hijau-nya tercapai.
“Tentu saja diperlukan insentif ekonomi. Apakah benefit dari penggunaan teknologi untuk rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya investasi dan perawatannya,” katanya dikutip Rabu (18/8/2021).
Kedua, apakah investasi untuk PLTS atap di dalam negeri sudah cukup efisien?. Dia mencontohkan levelized cost of electricity (LCOE) di Prancis, Jerman, Spanyol, dan Italia yang berkisar 20 Euro Cent/kWh, masih lebih tinggi dibandingkan dengan Hongaria, Bulgaria, Rumania, dan Estonia yang hanya 5—10 Euro Cents/kWh pada 2017.
Jika berdasarkan tarif dasar listrik (TDL) Indonesia pada April hingga Juni 2021, harga akhir listrik di dalam negeri berada di kisaran 6—8 Euro Cents/kWh.
“Ini adalah harga konsumsi akhir. Bandingkan dengan harga PLTS atap di di Eropa yang merupakan ongkos produksinya, dan mereka bisa jual di kisaran 9—10 Euro Cents/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomian dari investasi teknologi PLTS atap,” jelasnya.
Yayan memaparkan weight cost of capital (WACC) untuk investasi PLTS atap berdasarkan perhitungan di Eropa berada di 7 persen, sedangkan WACC atau IRR keekonomian di Indonesia mencapai 10%.
“Di sini ada kesenjangan antara daya beli dengan harga, serta investasi dengan harga keekonomian. Harusnya investasi sama dengan harga, sehingga harga sama dengan daya beli,” ucapnya.
Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) mengalkulasi jika tarif PLTS atap tetap 100 persen atau Rp1.444,3 per KWh, dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun hingga 2030, maka akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun.
Sementara itu, Mukhtasor, pakar energi dan Guru Besar Institut Teknologi 10 November Surabaya, mengatakan bahwa pemerintah atau negara harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS atap.
Salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100 persen listrik dari PLTS atap dari sebelumnya hanya 65 persen.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi itu. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor.
Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan APBN untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut.
“PLTS atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” ucapnya.