Bisnis.com, JAKARTA – Anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi di masa pandemi Covid-19 dinilai belum efektif menyasar kepada permasalahan yang ada di masyarakat saat ini.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menyebut anggaran yang sudah ditambah menjadi Rp744,75 triliun itu, belum menghasilkan penanganan pandemi dan ekonomi yang lebih baik.
“Sekarang hasilnya apa, [kasus] Covid-nya juara dunia, tidak selesai-selesai, lalu pertumbuhan ekonominya tetap sangat rendah. Mengapa? Karena hanya sekadar ekspansi, pokoknya dalam keadaan krisis begini digenjot habis-habisan utangnya, dan itu jadi perburuan rente yang luar biasa besar,” jelas Didik pada diskusi virtual “Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19”, Minggu (1/8/2021).
Didik lalu mengatakan tingginya anggaran pembiayaan dengan minimnya realisasi atau hasil yang didapatkan merupakan salah satu kegagalan dalam pengambilan kebijakan di masa pandemi Covid-19.
Adapun, pemerintah sebelumnya menaikkan anggaran PEN dari Rp699,43 triliun menjadi Rp744,75 triliun. Tambahan sebesar Rp55,2 triliun tersebut merupakan hasil dari refocusing anggaran-anggaran kementerian/lembaga yang ditujukan untuk priroitas penanganan Covid-19 dan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah mencatat terdapat penambahan 27.284 kasus harian baru Covid-19 di Indonesia, Sabtu (31/7/2021), sehingga total kasus positif di Indonesia terkini berjumlah 3,4 juta sejak kasus pertama diumumkan pada Maret 2020. Sementara itu, total kesembuhan mencapai 2,7 juta, dan pasien meninggal mencapai 94.119 orang.
Baca Juga
Didik yang juga merupakan Rektor Universitas Paramadina lalu mengibaratkan kondisi penanganan dan kebijakan penyusunan anggaran Covid-19 di Indonesia seperti “menyuruh orang sakit untuk berlari”. Dalam artian, ketika kondisi kesehatan dan perekonomian masyarakat sedang tidak baik, anggaran terus ditingkatkan tanpa perhitungan dan realisasi yang baik.
Menurut Didik, hal tersebut tidak lepas dari banyaknya pihak yang memiliki kepentingan dalam memutuskan alokasi anggaran sebesar-besarnya.
“Orang sakit disuruh lari. Harusnya sakitnya diberesin dulu baru lari. Atau kita punya mobil, mesinnya sakit, diperbaiki dulu mesinnya baru pakai ngebut di tol."
"Ini justru mesinnya tidak diperbaiki atau diperbaiki seadanya, langsung dipakai ngebut. Ini sudah logika kebalik, kebijakan dari segi rasionalisime saja sudah salah. Kenapa? Karena ratusan atau ribuan yang berkepentingan untuk mengambil keputusan alokasi anggaran sebear-besranya,” tuturnya.